Senin, 28 September 2020

Day 7 : My Favorite Movie


Source: Wikipedia

Tema ini bikin saya ingat dengan sahabat saya yang penggila film. Hampir semua film dilahapnya. Setiap kali saya chat, saat dia tidak sedang di kantor dan saya tanya, "Lagi apa?" jawabannya hampir dapat dipastikan adalah, "Nonton film." Selain itu jawaban lainnya adalah, "Duduk." Dua jawaban itu persentasenya 80-20, lah. Ia pun terbuka terhadap segala jenis film. Mulai dari film hollywood, China, Indonesia, Jepang, drama korea, serial barat, hanya India sih yang saya rasanya tidak pernah dengar. Genrenya pun macam-macam mulai dari science fiction, komedi, misteri, thriller, sampai romcom. Intinya dia tidak pilih-pilih genre. Seringkali dia tidak hapal judul film yang sudah ditontonnya tapi saat saya ceritakan sedikit alurnya, dia pasti bilang, "Sudah nonton." Menjadi penikmat film tanpa jeda bagi saya adalah sebuah kemampuan super yang tidak semua orang punya karena saya tipe orang yang butuh jeda untuk menikmati film baru lagi jika film sebelumnya terlalu berkesan karena akhir yang manis atau malah tragis. 


Saya merasa kalau saya yang sekarang bukanlah lagi penikmat film. Padahal dulu, saat masih duduk di bangku SMP sampai kuliah, saya selalu punya kartu anggota penyewaaan VCD seperti ezzy, ultra, dll. Tidak banyak film yang saya lewatkan. Seminggu sekali, saat SMA, setiap hari Jumat sepulang sekolah (dan sepulang pacar Jumatan), saya pasti sudah duduk di bangku 21 untuk menonton film. Bahkan koleksi tiket 21 yang masih terbuat dari kertas biasa dengan warna pink, kuning, hijau, dan biru itu selalu saya simpan hingga jadi gunungan sampah kertas yang akhirnya dengan berat hati saya buang. Kebiasaan itu berlanjut sampai kuliah di Bandung lalu lanjut lagi saat kerja di Jakarta. Menonton menjadi pelarian yang menyenangkan dari rutinitas harian. 

Tapi sekarang, saya lebih memilih menonton film-film atau drama yang menjadi zona nyaman saya. Makanya, film favorit saya biasanya adalah film-film adaptasi dari buku yang sudah saya pastikan bagus bukunya. Seperti Harry Potter, Lord of The Rings, Hobbit, dll yang sudah saya ulang-ulang menontonnya. Sedangkan untuk film-film lain, walaupun orang-orang bilang bagus, tidak akan membikin saya buru-buru antre ke bioskop dan menontonnya. Malas rasanya memulai nonton film baru, terbawa suasana, dan patah hati saat endingnya tidak sesuai harapan. Apa itu mungkin refleksi diri saya yang semakin tua dan semakin tidak menyukai unsur kejutan dan lebih memilih mencari spoilernya hanya untuk memastikan hati saya akan baik-baik saja sampai akhir cerita?

Tapi mungkin, ada satu film favorit (selain Harry Potter dkk) yang sampai saat ini masih saya ingat detailnya karena dulu lumayan sering saya ulang-ulang yaitu Legally Blonde. Entah kenapa ingatan akan film ini begitu kuat. Mungkin ya, mungkin...karena film ini lumayan merepresentasikan tentang apa yang saya harapkan tentang peran perempuan. Perempuan yang hidup di bawah stigma bodoh, tidak serius, terlalu cantik dan mewah untuk dianggap pintar, namun akhirnya bisa membuktikan bahwa semua tuduhan itu salah. Elle Woods (nama tokoh utama) bukan perempuan lemah yang saat berada dalam tekanan malah melarikan diri ke obat-obatan atau mabu-mabuan. Dia juga tidak begitu saja bilang, "Yah, mungkin ini yang terbaik. Kita ambil hikmahnya saja," saat diputuskan oleh pacarnya yang masuk hukum Harvard dengan alasan Elle Woods bukan perempuan yang serius a.k.a tidak selevel dengan pacarnya yang calon ahli hukum-keren-tampan-tajir-baik budi itu. Elle Woods, perempuan tajir, populer, blonde, sexy, cantik yang selalu tampil mencolok kayak Paris Hilton tentu saja tidak terima. Kerennya, ia sadar potensinya. Ia tahu yang ia mau dan berusaha keras mendapatkannya. Ia tahu ia bisa jadi apa saja asal berusaha. 

Alasannya untuk masuk Harvard juga mungkin receh awalnya, untuk mendapatkan kembali pacarnya, tapi terkadang, untuk mencapai sesuatu, motivasi sekecil apa pun, sangatlah berharga. Iya, dia punya banyak privilage untuk mendapatkan mimpi-mimpinya. Uang, wajah yang cantik, orangtua yang sangat suportif, sahabat-sahabat baik di sekitarnya, dan juga kemampuannya bersosialisasi dengan baik tapi tetap saja, ini soal Harvard, gaes...Oh, btw filmnya tidak seserius itu, kok. Saya bahkan tidak bisa melewatkan setiap adegannya tanpa tertawa kecil. 

Jadi, begitulah mengapa Legally Blonde menjadi salah satu film favorit saya. 

6 komentar:

  1. duh aku justru blm pernah nonton film ini 🙈 munngkin film ini semacam presentasi kehidupanmu di masa lalu ya? hehehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nontooon, filmnya kocak sih. Nggak lah, gak mirip aku banget hidupnya tapi harapannya yg mungkin sama 😂

      Hapus
  2. Sejujurnya aku jarang ntn film barat, sekalinya ntn malah lupa ceritanya. Wkwkwk..
    Tp ini premisnya unik, mau nyoba ah kapan2.

    BalasHapus
  3. Mungkin ini buat menolak stigma bahwa blonde = bodoh gitu kali ya, Tan? Aku sering dengar judul ini, tapi belum pernah nonton juga.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betuuuul...itu pesannya kayaknya karena blonde bodoh itu stigma yang melekat banget di masa itu. Tonton, Tan. Mayan buat nyengir-nyengir...

      Hapus