Minggu, 06 Desember 2015

Karena Hidup Adalah Organisasi


Cerita ini bukanlah kisah besar layaknya biografi orang sukses, kisah ini hanya kisah kecil yang ingin saya hadirkan juga bukan untuk tujuan besar seperti menjadikan cerita ini garis besar haluan negara atau bahkan menjadikan kisah ini sebagai kisah inspiratif sepanjang masa. Semua cerita, kisah, atau curhatan yang akhirnya saya tuliskan hanya punya satu tujuan kecil, sangat kecil, yaitu sebagai “spion tengah”, tempat di mana ada waktunya saya harus melihat ke belakang, entah itu untuk berhati-hati atau untuk merias diri. Btw, kalimat barusan jangan dipercaya, karena SIM A penulisnya tergolek karatan di dompet, nggak pernah dipake.
            Saat menjadi seorang siswa di bangku sekolah, saya adalah orang yang hanya sangat peduli dengan persoalan akademis. Saya takut kalau di raport ada nilai jelek, saya (hampir) tidak pernah bolos sekolah, saya takut tidak masuk kelas IPA, saya ikut banyak les-les mata pelajaran, intinya yang saya takutkan hanya nilai tertulis di atas kertas bernama raport dan ijazah. Saya tidak peduli dengan organisasi-organisasi sekolah. Satu-satunya organisasi yang saya ikuti saat sekolah hanya teater.
            Dunia kuliah menjadi “culture shock” tersendiri buat saya. Saya yang terbiasa menghadapi guru dengan materi yang sudah jelas, tugas yang sudah jelas, nilai yang sudah jelas, tiba-tiba  masuk ke dunia yang serba tidak jelas. Tidak jelas dosennya pakai buku apa untuk dibaca, tidak jelas instruksi tugasnya apa, tidak jelas materi ujiannya apa, bahkan tidak jelas dosennya masuk atau tidak. Saya yang selalu “disuapi” oleh materi yang sudah tersusun rapi kini harus berlari-lari “mencari makan” sendiri kalau mau nilai-nilai saya menyunggingkan huruf A.
Dunia kerja adalah pengalaman beorganisasi berikutnya (yang tentu lebih pelik). Saya pernah bekerja di retail farmasi modern di awal-awal masa fresh graduate. Cukup lama, hampir dua tahun. Keinginan untuk segera lepas secara financial dari orangtua memaksa saya untuk menyegerakan mengakhiri status fresh graduate menjadi karyawan. Saat itu saya tidak punya sama sekali bayangan tentang begitu berbedanya bekerja di industri retail dengan pekerjaan sebagai karyawan kantoran.
Hari-hari pertama saya mulai bekerja adalah hari-hari penuh kejutan. Jabatan yang tertera di nametag saat itu memang cukup gaya, Store Manager alias menejer toko. Intinya saya bertanggung jawab terhadap keberlangsungan segala kegiatan operasional di toko yang menjadi tanggung jawab saya tersebut. Tanggung jawab itu meliputi tanggung jawab terhadap uang, barang, dan orang. Oleh karena tanggung jawab yang melekat itu, saya diberi bawahan sekitar 10-15 orang yang banyak di antara mereka usianya rata-rata di atas usia….saya? Bukan. Usia ibu saya.
Dilematis. Di satu sisi, ada beban tanggung jawab yang harus dipenuhi dengan pertaruhan gaji dan posisi. Di sisi lain, ada para mbak-mbak, dan ibu-ibu yang dari sisi usia harusnya saya hormati. Ditambah lagi pengalaman memimpin saya hanya sebatas memimpin upacara pramuka, itupun saat saya duduk di bangku sekolah dasar. Situasi seperti ini yang kadang tidak pernah kita bayangkan dan persiapkan. Situasi disaat kita diberi tanggung jawab yang besar tapi merasa kecil, situasi disaat kita ditunjuk menjadi penanggungjawab tapi masih sering lepas tanggungjawab.
Cara orang menyikapi masalah tentu berbeda-beda, semua tergantung dari banyak faktor dalam hidupnya. Faktor tingkat pendidikan, faktor pengalaman hidup, faktor teman, dan lingkungan. Saya pernah mendengar sebuah kalimat yang keluar dari seorang senior yang namanya Alhamdulillah saya lupa, dia berkata,

” Setiap orang suatu saat nanti pasti akan pernah ditunjuk untuk memimpin…”.

Iya, segitu saja kalimat yang saya ingat, tapi dari kalimat pendek yang bahkan saya lupa lanjutannya itu cukup memberikan suntikan pede bahwa menjadi seorang pemimpin itu tidak bisa dihindari, kalau tidak memimpin dalam skala besar ya pasti akan memimpin skala kecil. Memimpin diri sendiri contohnya.
Keyakinan bahwa siap-tidak siap kita akan menjadi pemimpin itulah yang akhirnya membantu saya bertahan bekerja di bisnis retail farmasi tersebut selama dua tahun sebagai pimpinan sebuah lingkup kecil dari perusahaan (ya tentu juga karena kontraknya memang dua tahun jadi mau tidak mau saya harus bertahan ketimbang membayar pinalti dalam jumlah besar hehe..).
Di awal-awal masa kerja, oleh atasan saya, saya selalu didoktrin untuk menjadi pribadi yang bertangan besi dalam artian tegas, berjarak, dan mengelola toko dengan penuh kedisiplinan.  Dia menyadari betul kelemahan saya dari segi umur yang menyebabkan saya sungkan untuk marah-marah kalau terjadi kesalahan. Menurutnya, itu satu-satunya cara untuk membuat saya bisa mengendalikan jalannya kegiatan operasional toko dengan staff-staff yang sadar betul kejunioran saya. Bagi atasan saya “Kalau lo galak, bawahan bakal nurut sama lo dan artinya lo bisa push mereka biar mencapai target artinya lagi lo dapet insentif dan perusahaan untung gede” tapi bagi saya yang tidak berbakat galak dan lumayan paham kondisi emosional para bawahan yang setiap hari saya temui “Kalau gw galak, bawahan bakal ngambek, nyinyir, nggak mau dengerin omongan gw, dan akan berakhir dengan surat resign massal mereka atau gw karena nggak betah”. Saya dan atasan saya memang berbeda menyikapi masalah ini.
Di minggu-minggu pertama,  cara yang diminta atasan saya sempat saya terapkan, tapi lama-kelamaan saya mulai lelah menjadi orang lain. Saya tidak bisa menikmati pekerjaan saya, saya tidak memiliki kedekatan emosional dengan teman-teman kerja saya yang hampir setiap hari bertemu, dan jauh di dalam hati saya, sebenarnya saya meyakini kalau menjadi pemimpin/pimpinan dalam lingkup sekecil apapun adalah soal memberi contoh. Ayah memberi contoh shalat kepada anaknya agar anaknya shalat, kakak memberi contoh nilai baik kepada adiknya agar adiknya rajin belajar, atasan memberi contoh datang tepat waktu di kantor agar anak buahnya sungkan datang terlambat.
Bagi saya yang newbie dan jelas-jelas tidak mungkin menebar pesona agar diikuti kata-katanya, maka saya lebih memilih untuk mengembangkan kepercayaan dan loyalitas bawahan dengan cara menjadi pendengar yang baik sekaligus memberi contoh terhadap semua pekerjaan. Saya harus datang lebih pagi dari mereka, saya harus memiliki product knowledge lebih baik dari mereka, saya harus menulis pembukuan lebih rapi dari mereka, bahkan saya harus menyapu lebih bersih dari mereka. Itu memang bukan jobdesc saya, tapi mereka harus tahu kalau saya bisa melakukan lebih baik dari mereka dan karena itulah saya ditunjuk untuk menjadi pimpinan, sehingga mereka bisa percaya kepada kemampuan saya dan tidak melihat umur saya yang jauh lebih sedikit.
Empati menurut saya adalah hal penting lainnya saat siapapun akan duduk menjadi pimpinan bagi beberapa orang. Kita harus mengenal betul pressure apa yang akan didapatkan oleh bawahan sehingga  bisa menempatkan diri dalam posisi mereka dan menjadi problem solver yang bijak terhadap berbagai permasalahan. Waktu dua tahun cukup membuat saya  mengenal pressure yang akan didapatkan seorang pekerja retail. Mulai dari target yang terus menerus dinaikkan, jam kerja yang luar biasa tidak bersahabat, libur di saat  kebanyakan orang (pekerja kantoran) masuk dan masuk di saat orang libur, lembur yang kadang mendadak dengan kompensasi yang kecil, bekerja dengan sistem shift yang cukup mengacaukan jam tidur, resiko kehilangan barang yang dijual atau bahkan uang, belum lagi gaji yang tidak sesuai dengan segala tekanan yang didapat, dan perlakuan dari customer yang kadang tidak bersahabat. Fyiuuh…
Selain itu juga saya mempertimbangkan semua suara mereka dan menjadikan itu rujukan penting dalam sebuah keputusan. Ternyata cara ini cukup berhasil bagi saya untuk bisa mengarahkan bawahan melakukan tanggung jawab yang dibebankan perusahaan kepada kami tanpa mereka harus kesal, marah, nyinyir dan juga membuat saya tidak kehilangan kedekatan emosional dengan teman-teman saya tersebut. Hal ini dibuktikan dengan growth toko yang terus naik, turn over karyawan yang menurun,  hasil stock opname yang semakin sedikit selisihnya, dan dipromosikannya saya ke jabatan yang lebih tinggi walupun terpaksa saya tolak karena alasan pribadi.
Akhirnya saya meyakini bahwa setiap orang sebenarnya telah memiliki skill sendiri-sendiri untuk mempengaruhi orang lain dalam mencapai sebuah tujuan. Bukankah itu tujuan dari manajemen (yang dilakukan oleh seorang manajer) ? Proses panjang menemui cara menjadi seorang manajer yang baik (baik disini adalah membuat saya nyaman sekaligus tujuan dan tanggung jawab yang dibebankan kepada saya bisa tercapai) dan lagi-lagi itu semua berbeda bagi setiap orangnya. Mungkin ada yang nyaman dengan cara kepemimpinan otokratis dimana semua keputusan ada di tangan pemimpin/pimpinan, atau ada juga yang memang sudah dari sananya mempunyai aura pemimpin sehingga kata-katanya pasti diikuti karena kharisma yang dia miliki.

Dari semua ngalor-ngidul di atas, saya hanya ingin memberikan sebuah testimony bahwa menjadi bagian dari sebuah organisasi apapun itu, bisa membantu kita membangun karakter kepemimpinan dalam diri. Tidak hanya untuk memimpin orang lain, tapi untuk memimpin kita sendiri. Memimpin kita untuk disiplin, memimpin kita mengambil tindakan-tindakan yang bijaksana, memimpin kita menemukan passion sehingga dapat maksimal dalam berkarya, dan memimpin kita meraih pencapaian-pencapain terbaik dalam hidup tanpa perlu menjadi seorang pimpinan. 

Kamis, 23 Juli 2015

ENTROK (OKKY MADASARI)



Jangan terkecoh dengan sampul novel ini yang sangat cerah khas warna-warna buku chicklit. Sebaliknya, walau disajikan dengan bahasa yang ringan dan mudah dipahami, novel ini sungguh kaya. Sebelum membahasnya, alangkah baiknya jika kita mengetahui cara pengucapan Entrok. E pada entrok dilafalkan seperti melafalkan E pada edan. Dan huruf K tidak disebut dengan jelas. Sudah bisa? Mari kita mulai membahas entro’.

Novel ini menyajikan dua sudut pandang yaitu sudut pandang Marni , sang ibu dan Rahayu, sang anak. Marni adalah perempuan kampung yang sejak kecil telah hidup dengan sangat keras untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Ia tidak mengenal baca tulis dan menjadikan leluhur sebagai tempat meminta pertolongan. Entrok artinya sendiri adalah bra. Dikisahkan bahwa karena begitu sulitnya kehidupan di masa itu, entrok menjadi barang yang sangat mewah bagi Marni sehingga untuk membelinya dibutuhkan usaha yang sangat keras. Segala pekerjaan dilakoni Marni untuk memperoleh hidup yang lebih baik. Mulai dari pengupas singkong, kuli angkut di pasar, berdagang kulakan, berdagang panci keliling kampung, hingga menjadi rentenir. Rahayu adalah anak yang besar di saat kehidupan Marni sudah lebih baik sehingga dia bisa mendapat pendidikan yang baik dan mengenal bahwa Tuhanlah tempat meminta pertolongan. Rahayu juga belajar bahwa pekerjaan ibunya sebagai rentenir adalah haram.

Perbedaan pandangan antara kedua generasi ini lama-kelamaan akhirnya menyulut konflik yang mengakibatkan Rahayu tidak nyaman berada di rumah akibat ritual-ritual pemujaan yang sering ibunya lakukan dan cibiran masyarakat atas pekerjaan ibunya. Marni sendiri tidak setuju dengan sikap sang anak yang melupakan leluhur dan tidak punya hati karena akhirnya memilih jalan sendiri yang menurut Marni adalah salah.

Tidak itu saja, novel ini juga menyajikan keadaan ekonomi dan politik di tahun 1900-an lengkap dengan isu-isu sosialnya di mana semuanya serba sulit dan penuh tekanan tapi diceritakan dengan santai dan ringan. Penulis membuat kedua tokoh utamanya sangat detail dan lengkap dengan sifat serta pergolakan batin dan kerumitannya masing-masing. Meskipun menggunakan dua sudut pandang, perpindahan plotnya sangat mulus sehingga cerita tetap mengalir dengan baik. Banyak pesan yang disampaikan oleh buku ini. Tapi pesan yang paling kuat adalah pentingnya menjaga toleransi di atas semua perbedaan dan juga ajakan untuk tidak melupakan sejarah bangsa.

Minggu, 05 Juli 2015

Paman Don

Dimuat di basabasi.co tanggal 3 Juli 2015

“Ada Paman Don, Kak!” kata adikku, Dian, saat kepalanya muncul dari celah pintu kamar. Raut mukanya menunjukkan kesinisan seperti biasa setiap kali Paman Don datang ke rumah. Aku meletakkan majalah yang sedang kubaca, lalu ikut menunjukkan wajah tidak suka.
“Ada apa lagi, sih, ke sini terus?” tanyaku pada Dian yang sudah melangkah untuk duduk di tempat tidurku.
“Sepertinya Mama mau konsultasi lagi deh, Kak,” kata Dian, memberiku jawaban yang sebenarnya telah kami ketahui. Selama ini, hanya itu satu-satunya alasan Paman Don datang ke rumah.
 Selanjutnya, baca di sini http://basabasi.co/paman-don/

Selasa, 16 Juni 2015

Runtuhnya Benteng Tsunami

Dimuat di harian Lampung Post tanggal 14 Juni 2015

Pulau Sebuku dikata orang
Ada seribu lebih dan kurang
Orangnya habis nyatalah terang
Tiada hidup barang seorang

Rupanya mayat tidak dikatakan
Hamba melihat rasanya pingsan
Apalah lagi yang punya badan
Harapkan rahmat Allah balaskan[1]

Pria tua itu setiap hari duduk di jalan berpasir yang menuju lokasi penambangan batu dan sabes[2]. Tidak henti-henti mulut tuanya berbicara kepada setiap penambang yang lewat. Beberapa penambang menegurnya ramah, sebagian mengacuhkan, sebagian lagi hanya tersenyum sejenak, lalu mata mereka kembali lurus ke depan. Para penambang tidak mau membuang energi untuk bercakap-cakap. Mungkin mereka bosan karena setiap hari tentu bertemu, setiap hari tentu akan mendengar kalimat yang sama dari pria tua itu. Keramahan berupa senyuman hanya basa basi saja, hanya bentuk rasa kasihan.
Angin pantai kadang sepoi kadang landai di pagi yang sedikit masih berkabut itu. Energi hasil pembakaran sarapan berupa pisang rebusyang biasa istri-istri mereka siapkan, kopi, dan sebatang rokok itulah yang akan menjadi tenaga mereka untuk bekerja keras pagi ini hingga menjelang siang.
Satu persatu para penambang menapak lincah bebatuan hingga nyaris sampai di puncak bukit. Hidup mereka pasrahkan kepada sebilah tambang yang melingkar di badan. Tambang itu yang menopang tubuh mereka berayun-ayun sembari mencukil bebatuan dengan linggis. Suara gelegar bebatuan yang jatuh mulai sering terdengar seiiring semakin banyak para pekerja yang bergelantungan. Kadang bunyi-bunyi itu akan mengagetkan mereka yang tidak biasa berada di sana, maklum terkadang batu yang jatuh bisa seukuran meja besarnya. Suara gemuruh ban truk-truk pengangkut yang beradu dengan remahan batu, membuat pagi itu semakin ramai.
Pria tua itu masih duduk terdiam. Sesekali mulut tuanya berucap lirih kalimat yang sudah bertahun-tahun ini ia ucapkan setiap pagi. Terkadang kalimat itu meluncur keluar begitu saja tanpa peduli ada yang mendengar atau tidak.
“Jangan bunuh diri massal.”
***
            Amran masih ingat, sejak dulu, ayahnya selalu bercerita tentang kegagahan gunung di seberang kampungnya, yaitu kampung Kunyit Laut. Sejak ia kecil, kekaguman akan Gunung Kunyit telah melekat di hati Amran. Jika tidak ada Gunung Kunyit, mungkin dirinya tidak ada. Sebab menurut cerita ayahnya, Gunung Kunyit-lah yang menjadi benteng alam saat tsunami akibat letusan Gunung Krakatau tahun 1883 datang menerjang kawasan Kunyit Laut dan Kunyit Seberang. Bagi Amran, gugusan gunung yang saat ia kecil luasnya hingga di tepi pantai itu, bukanlah sekedar bentang alam biasa. Dengan ketinggiannya yang mencapai 7000 kaki dengan tumbuhan hijau yang membungkus tubuhnya, Gunung Kunyit adalah sebuah saksi mata sejarah.
            “Jangan sampai dia rata dengan tanah,” ujar ayahnya sambil menunjuk Gunung Kunyit di kejauhan. Setiap sore, Amran dan ayahnya selalu menunggu senja di pantai yang langsung berbatasan dengan Teluk Lampung itu.
            “Kalau dia rata dengan tanah, habislah kita semua. Jangankan tsunami, gelombang pasang besar sedikit saja, maka tenggelam kita semua,” lanjut ayahnya lagi.
            Amran kecil hanya mengangguk. Hanya sedikit sekali kata-kata dari untaian kalimat yang disampaikan ayah, yang mampu dicerna oleh alam pikirnya. Tapi ia merasa bahwa gunung itulah sumber segala pembicaraan mereka di sore-sore menanti senja. Selalu tentang gunung itu.
***
Saya mau makan apa, Pak, kalau tidak kerja begini?
Tapi...
Tapi apa? Bapak mau mengulang cerita yang sejak kecil sudah aku dengar? Bapak mau bilang kalau kita akan hancur kalau terus membiarkan gunung itu rata dengan tanah? Bapak malu kepada orang-orang karena Bapaklah yang selalu paling ngotot mendukung pemerintah untuk menertibkan penambangan?”
Mulut tua itu hanya terdiam. Dalam hatinya ia membenarkan ucapan lelaki keras kepala yang sangat mirip dengannya itu.
Bapak bisa kasih saya dan istri saya makan kalau saya nggak kerja? Mana mungkin! Ibu saja hampir tiap hari menangis karena sering tidak ada beras di rumah ini.
***
 “Sehari bisa dapat hampir dua ratus rebu, Lin. Asal kuat saja kerja seharian. Semakin banyak truk yang terisi batu, semakin banyak hasil yang bisa aku bawa pulang,”
“Itu uang segitu bersih, Bang?”
“Bersih, Lin, setelah dibagi dengan Pak Santoso dan pemecah batu.”
“Banyak juga, Bang.”
“Makanya doakan aku kerjanya selamat. Jangan kayak bapak yang hanya bisa ngelarang-larang.”
Tubuh tua yang mulai bungkuk itu menghempaskan dirinya ke atas kursi lapuk berbau apek. Percakapan antara anak dan mantunya itu terdengar jelas di rumah petak mereka. Ia tahu, kalau akan tiba waktu anak lelaki satu-satunya mulai tertarik untuk bekerja menjadi penambang. Rumah mereka yang sangat dekat dengan lokasi penambangan, merupakan faktor utamanya. Ajakan untuk bekerja di sana hampir setiap hari diterima oleh anaknya. Dulu kecintaan Amran kepada gunung itu mungkin masih besar hingga bisa ditolaknya ajakan dari para tetangga untuk menambang. Tapi kini, saat ia telah menikah, saat ekonomi keluarga semakin terpuruk, saat tidak ada pekerjaan yang bisa dilakukan oleh laki-laki tanpa ijazah, pilihan menjadi penambang menjadi hal yang paling mungkin ia lakukan. Cinta itupun pudar saat cinta tidak bisa lagi mengisi perut yang masih meronta kelaparan.
***
Sudah sebulan ini, Amran bekerja menjadi penambang. Setiap pagi, ia keluar rumah dan baru kembali sore hari. Seperti janjinya kepada istrinya, Amran selalu pulang membawa banyak uang. Perekonomian keluarga mulai membaik. Beras sekarang selalu ada di rumah itu.
Adzan maghrib berkumandang di luar saat keluarga itu tengah berkumpul di satu-satunya ruangan agak luas di rumah itu. 
Bruk,” bunyi benda besar yang jatuh sangat dekat.
Disusul bunyi gemuruh lebih ramai lagi. Suasana mendadak mencekam. Mereka semua sesaat terdiam. Terdengar suara jeritan perempuan sangat keras dari luar rumah. Belum sempat diketahui asal suara, dengan sangat cepat atap rumah mereka telah rubuh diterjang bebatuan kapur yang besar-besar bersamaan dengan suara jerit ketakutan -atau kesakitan salah satu anggota keluarga. Lalu semua gelap.
***
Hal pertama yang Amran lihat saat membuka mata adalah istrinya dengan kepala yang terbebat kain kassa. Lalu kesadaran  membawanya kembali ke maghrib itu.
Ayah dan Ibu mana?itu kata-kata yang berhasil keluar dari mulutnya yang terasa sangat perih. 
“Mereka ada. Sedang beristirahat di ruang yang lain,jawaban pelan itu keluar dari mulut perempuan yang telah dinikahinya selama dua tahun ini.
Perasaan lega mulai menyelimuti hatinya. Keluarganya selamat. Itu yang penting. Rumah bisa dibangun lagi, uang bisa dicari. Mulai besok ia akan bekerja lebih keras lagi menambang batu.   
Kelegaan itu pecah oleh isak tangis isterinya yang ternyata ditahannya sedari tadi sembari tangannya menunjuk-nunjuk kedua kaki Amran. Kaki yang baru Amran sadari kalau tidak ada lagi. Hanya menyisakan dua gumpal daging di atas lutut. Saat itu, dunianya hancur lebur.
***
Pria tua itu masih duduk terdiam. Sesekali mulut tuanya berucap lirih kalimat yang sudah bertahun-tahun ini ia ucapkan setiap pagi. Terkadang kalimat itu meluncur keluar begitu saja tanpa peduli ada yang mendengar atau tidak.
“Jangan bunuh diri massal.”
Kedua kakinya yang hanya sampai lutut membatasi geraknya. Ditambah pasir hasil remah penambangan sangat tajam dan keras. Sulit baginya untuk mencapai tempat yang lain tanpa bantuan tongkat yang kini bersandar di sebelahnya.
Besok pagi, ia akan ke sini lagi. Sampai ada yang mendengarnya, dan mengikuti perkataannya.

Epilog
Goenoeng Koenjit begitu orang Belanda menyebutnya. Luasnya terbentang hingga ke ujung laut yang berbatasan dengan Teluk Lampung. Ia pernah membentang gagah menghadapi tsunami akibat letusan Krakatau tahun 1883 dan menjadi benteng perlindungan bagi masyarakat sekitar atas maut yang sempat mengintai. Tapi itu dulu, sebelum batu-batunya berjatuhan menghempas bumi, mengisi perut-perut lapar para penambang.
Kini, tidak pantas lagi rasanya dia disebut gunung. Tidak tampak lagi keperkasaannya. Tubuhnya koyak disana sini akibat tebasan linggis dan martil. Hampir 80% dari luasnya dahulu kini telah menjadi tanah rata dan pemukiman para penambang. Kelak, jika suatu hari anda ke Bandar Lampung, mungkin tidak pernah akan lagi melihatnya karena benteng tsunami itu telah berpeluk mesra dengan bumi.




[1]Kutipan dari “Syair Lampung Karam”, sebuah syair jurnalistik yang ditulis oleh Muhammad Saleh. Syair ini mengisahkan tentang letusan Gunung Krakatau di Selat Sunda pada Agustus 1883. Syair ini juga merupakan karya sastra tertua.
[2] Remahan batu gunung

Rabu, 06 Mei 2015

ALTITUDE 3676 TAKHTA MAHAMERU (AZZURA DAYANA)




Pertama kenal buku ini karena direkomendasikan teman.

Di awal, buku ini berhasil memikat saya dengan cara berceritanya yang ringan, hangat, tapi bermuatkan banyak pesan khas penulis-penulis dari FLP. Tapi di tengah-tengah, saya yang awalnya merasa senang dengan taburan beberapa kutipan indah Kahlil Gibran, potongan lirik lagu, dan puisi, mulai merasa agak terganggu karena dirasa too much. Seolah tanpa kutipan itu, ceritanya seperti tidak memiliki kekuatan. 

Setting tempat menjadi nilai plus buku ini, cukup detail, dan membuat saya berpikir kalau penulisnya pastilah sudah mengunjungi semua daerah yang ada di dalam buku.

Mengenai penokohan, karena buku ini memakai banyak sudut pandang, cukup berhasil untuk tidak membuat saya bosan dengan beberapa pengulangan adegan. Walaupun begitu, Faras menurut saya terlalu kepo dan nekat untuk menelusuri keberadaan Ikhsan dengan alasan yang entah mengapa tidak cukup kuat bagi saya. Ikhsan sendiri, walaupun penulis berkali-kali menggambarkan dia sebagai sosok yang jahat, tidak terlalu terlihat begitu. Hanya adegan dia menculik sepupunya itu saja yang lumayan menggambarkan jahatnya Ikhsan.

Secara keseluruhan, terlepas dari hal-hal teknis , buku ini cukup mencerahkan dan menghibur. Bukan buku yang hanya dibaca tanpa meninggalkan kesan apa-apa.

Sumber gambar : https://erlidwievani.wordpress.com/2014/07/05/altitude-3676-tahta-mahameru/

SENJA YANG MENDADAK BISU (LUGINA W.G dkk)



Buku yang diluncurkan bertepatan dengan ulang tahun Kampus Fiksi yang ke-2 ini, berisikan kumpulan cerpen yang berkarakter lokalitas-inspiratif. Maka tidak heran, jika saya kemudian dibawa berpindah-pindah tempat ke beberapa daerah di Indonesia melalui penggambaran setting, penokohan, dan unsur lokal yang luar biasa apik. 
Cerpen favorit saya, selain Senja Yang Mendadak Bisu adalah Kapurung yang memiliki ending tak terduga. Selain itu, cerpen Otok yang sarat nasihat juga sangat menarik untuk dibaca. Alur maju mundur yg smooth hadir dalam cerpen Moksa. Aaah...intinya semua cerpen dalam buku ini hadir dengan keindahannya masing-masing. Begitu kaya, rapi, dan bermakna

Senin, 27 April 2015

Dari Khayalan Menuju Jogja

Hari Minggu kemarin, saat ulang tahun Kampus Fiksi Emas yang ke-2, ada banyak sekali petikan kalimat dari dua narasumber tamu yang sangat mengena di pikiran saya.

Mas Joni Ariadinata, selaku redaktur majalah  Horison, berbicara soal khayalan dan imajinasi. Berkhayal tentu semua orang bisa. Siapa yang tidak bisa berkhayal menjadi orang kaya? Siapa yang tidak bisa berkhayal tentang menang undian? Tapi untuk sebuah imajinasi, butuh kreatifitas yang tidak semua orang memilikinya. Jadi silahkan pilih, mau menjadi penulis yang hanya bisa berkhayal atau penulis yang mampu berimajinasi.

Masih menurut Mas Joni, penulis harus berwawasan luas dan memiliki kemampuan teknis menulis yang mumpuni agar karyanya tidak cacat secara logika. Ini tentu meruntuhkan anggapan awam kalau menulis cerpen itu mudah dan hanya berdasar khayalan saja.

Mas Joni menyarankan sebuah repetation agar menulis dapat menjadi sebuah habbit. Dia mencontohkan seorang Titis Basino yang sudah tidak muda lagi namun semangat menulis dan kedisiplinannya sangat luar biasa.

Ada sebuah cerita  berkesan yang dibagi oleh Pak Edi Akhiles tentang Mas Joni. Katanya, dulu Mas Joni pernah menginjak-injak karya orang lain yang dimuat di sebuah media cetak hanya karena dia merasa kalau seharusnya cerpen dia lah yang layak tampil di media tersebut. Kecintaan secara positif akan hasil karya itulah yang harus dimiliki seorang penulis apalagi jika karya yang dihasilkan telah melalui sebuah proses riset yang gila-gilaan.

Penolakan sebuah karya oleh media tentu harus diterima. Kekecewaan pasti ada, tapi jika setelah kecewa maka berhenti menulis, maka kita tidak akan bisa menjadi penulis.

"Orang yang 40 kali cerpennya ditolak lalu menulis dan mengirim lagi tentu akan menghasilkan tulisan yang lebih baik di pengiriman yang ke-41 karena dia telah berlatih sebanyak 40 kali."

Pembicara selanjutnya adalah Mas Raudal Tanjung Benoa. Meskipun memiliki buku beliau yang berjudul, "Parang Tak Berulu," saya masih kurang familiar dengan sosoknya. Namun, setelah membaca berderet karya dan aktivitas beliau, saya akhirnya menyadari kalau sayalah yang kurang piknik di dunia literasi.

Awalnya agak sulit untuk menyimak penjelasan beliau dengan lancar karena gaya bicaranya yang cepat khas orang Sumatera Barat. Tapi lama kelamaan, setelah mulai beradaptasi, saya justru banyak mendapat nutrisi baru untuk bahan pemikiran.

Mas Raudal berbicara atau sharing tepatnya tentang proses kreatif dalam menulis. Yang membuat saya akhirnya mengaguminya adalah, selama proses sharing, dia selalu berkata, "...itu kalau saya," di setiap akhir tips yang dia berikan. Terlihat sekali kalau Mas Raudal berusaha membuat kami tidak merasa digurui melainkan hanya proses sharing saja. Hal itu sepertinya mangandung pesan bahwa setiap orang akan mengalami proses kreatif yang berbeda-beda. Tidak ada suatu pakem tertentu.

"Jangan membebankan sebuah kesempurnaan terhadap karya sastra." Kata-kata tersebut diberikan sebagai jawaban atas pertanyaan peserta mengenai ketidakpercayaan dirinya untuk mengirim naskah ke media karena selalu merasa ada yang salah. Menurut Mas Raudal,  bahkan sebuah novel sekelas Layar Terkembang saja masih memancing kontroversi mengenai matinya tokoh Maria. Jadi, selesaikan saja karyamu.

"Seorang penulis yang masih khawatir terhadap pasar berarti dia tidak memiliki kepercayaan diri terhadap nilai sastra yang ada di dalam karyanya."
Kalimat indah dan mengusik ini menjadi jawaban dari Mas Raudal untuk pertanyaan mengenai cara penulis menyikapi pasar buku yang terus berubah.

Terakhir, ada satu kalimat dari Mas Raudal -saat ia berbicara tentang pentingnya sebuah komunitas dan silaturrahmi dengan teman-teman di Jogja- yang bagi saya secara pribadi sangat mengena di hati.
"Perjalanan ke Jogja adalah perjalanan untuk menjaga hubungan emosional dengan sastra, dengan dunia yang sejatinya kita cintai."

Sekian dan Selamat Ulang Tahun Kampus Fiksi Emas yang ke-2

Minggu, 12 April 2015

Mekarnya Bunga Youtan Poluo





Dimuat di kampusfiksi.com (Cerpen Jumat) &Pemenang Arisan Cerpen Kampus Fiksi Angkatan 11 (putaran kedua)

Ini kali keduanya Yuwen tampil di San Diego. Baginya dan seluruh tim Wu Dao Performing Arts, ini akan menjadi musim dingin yang menyenangkan karena California bagian selatan banyak mendapat cahaya matahari. Tidak seperti tahun kemarin dimana mereka harus menghabiskan musim dingin di Eropa yang suhu udaranya turun sampai -20 derajat Fahrenheit. Hal sederhana lainnya yang menggembirakan bagi Yuwen dan penari lainnya adalah, San Diego Civic Theatre memiliki tempat rehearsal[1] yang lebih luas dan lebih banyak cermin dibanding gedung pertunjukkan lainnya. Cermin-cermin itu sangat penting bagi para penari untuk mengukur seberapa tinggi kaki mereka saat diangkat menentang gravitasi bumi –dan juga untuk mengagumi diri sendiri. Tapi yang paling utama dari itu semua adalah tempat mereka tampil dan berlatih kali ini memiliki lantai marley. Lantai yang khusus untuk menari itu memang tidak bisa ditemukan di semua gedung pertunjukkan. Paling tidak persediaan beberapa pasang sepatu yang Yuwen bawa dari New York tidak akan banyak berkurang hanya karena lantai semen atau karpet kasar yang dengan cepat bisa membuat bolong alas kakinya.

***

Pagi ketiga Yuwen di San Diego dan lagi-lagi pandangannya  jatuh pada sosok gadis kecil yang melihat sesi latihan mereka dari kaca lebar di sebelah kiri ruangan. Gadis kecil itu tidak sendiri, ada beberapa orang yang juga ikut melihat sesi latihan yang harusnya tertutup. Tapi yang membuat Yuwen mengingat kalau gadis itu tidak pernah absen sejak hari pertama latihan mereka adalah penampilannya yang mencolok mata. Bagaimana tidak, ia hadir di tengah-tengah kerumunan manusia yang berpakaian rapi dan bersih. Tubuhnya yang kecil itu –bahkan sangat kecil, dibungkus oleh jaket kebesaran, berpadu dengan celana jeans lusuh dengan size yang juga sangat besar. Rambutnya yang kemerahan tampak kusam dan ia menggenggam gulungan karton besar di tangan kanannya. Mata cokelatnya yang bulat besar terus bergerak mengikuti langkah para penari. Mata itu memancarkan keingintahuan sekaligus kegembiraan yang luar biasa. Ironisnya, hanya mata itu yang tampak hidup

Aku ingin menjadi penari.” Itu kalimat pertama yang Yuwen dengar saat ia akhirnya menghampiri gadis itu karena kalah akan rasa penasaran. Kalimat itu bahkan keluar sebelum Yuwen bertanya apapun padanya.

“Siapa namamu?” tanya Yuwen akhirnya.

“Nancy,” jawabnya dengan suara lemah.

Melihat Nancy dari dekat ternyata jauh lebih mengkhawatirkan dibanding menatapnya melalui kaca lebar di ruang latihan. Leher gadis itu teramat kurus. Yuwen tidak tahu, apakah jaket kebesaran itu digunakannya sebagai kamuflase agar terlihat lebih berisi, atau dia memang membutuhkannya untuk merasa nyaman di cuaca musim dingin ini.

Yuwen menyadari kalau kondisi Nancy tidak memungkinkan untuk menjadikannya seorang penari, tapi Yuwen juga tidak ingin menjawab keinginan Nancy dengan kata-kata yang seolah-olah menghibur hati namun hanya akan menjadi harapan semu bagi gadis itu. Di pertemuan pertama itu, Yuwen memilih diam dan membiarkan mata cokelat Nancy terus menatap ke dalam ruangan yang kosong ditinggal para penari berisitirahat. Tidak lama kemudian, Nancy pergi.

***

Besoknya Nancy datang lagi. Kali ini dengan syal rajutan besar mengelilingi lehernya yang kecil. Jaket yang kebesaran itu masih dikenakannya. Saat sesi istirahat berlangsung, lagi-lagi Yuwen mendatangi Nancy.

“Kenapa Kakak datang ke sini lagi?” Nancy bertanya tanpa menatap mata Yuwen.

Yuwen sendiri sebenarnya heran dengan ketertarikannya yang luar biasa terhadap Nancy. Yuwen merasakan seperti ada sebuah magnet yang tubuh ringkih itu pancarkan agar dia selalu mendekat.
         
“Kamu tahu bunga youtan poluo, Nancy?” Yuwen bertanya tanpa menjawab pertanyaan Nancy sebelumnya.
           
Nancy hanya menggeleng. Tapi pertanyaan itu berhasil membuat mata coklat Nancy mengarah kepada Yuwen.

“Melihatmu mengingatkanku akan youtan poluo.” Sedari kemarin, hal ini yang terus melintas di benak Yuwen saat melihat Nancy. Bunga yang di musim pertunjukkan kali ini banyak disebut dalam sesi latihan Wu Dao Performing Arts.

“Apa itu?”

“Bunga yang menurut legenda hanya tumbuh 3000 tahun sekali. Warnanya putih tidak ternoda, kecil seperti kamu, terlihat lemah, tapi ternyata tangguh. Bila sudah tumbuh di suatu tempat, dia akan sulit untuk dicabut. Menarik, karena bahkan dia tidak terlihat memiliki akar.”

Nancy tertawa mendengar cerita Yuwen. Wajah itu ternyata masih menyimpan kecantikan. “Itu hanya legenda, Kak. Kalaupun ada, siapa yang bisa menjamin kebenarannya? Siapa manusia yang umurnya sangat panjang hingga bisa menghitung kelahiran bunga itu?” Pertanyaan kritis itu keluar dari mulut yang terlihat tidak mampu mengeluarkan kata. Mengeluarkan kalimat sepanjang itu membuat nafasnya terengah-engah. Nancy merapatkan jaket tebalnya ke badan.

“Kamu sakit, Nancy?” tanya Yuwen melihat tingkah Nancy.

“Ya, sakit keras,” jawabnya ringan.

Sakit apa yang dialami anak sekecil ini sehingga mampu menghabisi seluruh berat badannya? Sakit apa yang dihadapinya sehingga seluruh tubuhnya mengeluarkan aroma kesedihan? Yuwen bertanya dalam hati.

“Aku akan menunjukkan youtan poluo padamu besok. Tidak perlu menunggu 3000 tahun, Nancy,” ucap Yuwen spontan.

Mata Nancy terbelalak mendengar ucapan Yuwen. Sejenak, Nancy terlihat sangat sehat dan bahagia.

“Ya, besok malam, temanku akan menunggumu di sini dan mengantarkanmu menemuiku. Kita akan melihat youtan poluo bersama,” jawab Yuwen lagi untuk meyakinkan Nancy.

“Aku akan datang. Terima kasih.” Wajah itu menyiratkan kegembiraan yang sangat besar.  

Jika Nancy memang sakit keras, maka aku akan memberikan pengalaman yang indah untuknya besok. Janji Yuwen pagi itu.

***

Gemuruh tepuk tangan terdengar  di seantero gedung San Diego Civic Theatre. Hampir seluruh penonton yang berjumlah sekitar tiga ribu orang memberikan standing applause pada penampilan terakhir malam ini sekaligus penampilan yang menyudahi rangkaian tur Wu Dao Performing Arts di California Selatan.

Bunga Youtan Poluo Yang Sedang Mekar[2] ditampilkan dengan luar biasa cantik." Terdengar suara MC dua bahasa setelah keramaian tepuk tangan berakhir.

Tarian yang baru saja ditampilkan memang benar-benar memukau mata seluruh penonton. Begitu tirai dibuka, terlihatlah kemegahan Buddha yang dilanjutkan dengan legenda tentang bunga yang hanya dapat ditemui 3000 tahun sekali. Bunga Youtan Poluo yang berwarna putih tanpa cela diterjemahkan dengan  kostum penari yang berwarna putih bersih, tangkainya yang tipis serta tampak lemah tergambar dalam langkah-langkah kaki penari yang ringan seperti mengambang. Sangat cantik dan anggun.

Sejatinya, bunga ini bukanlah simbol perpisahan, melainkan simbol sebuah kedatangan, tapi dipilihnya Mekarnya Bunga Youtan Poluo sebagai tarian penutup lebih kepada kemegahan sekaligus kesucian yang dihadirkannya.

Di sana, di atas panggung, di antara puluhan orang dengan kostum buatan tangan yang memukau, ada sebuah senyum yang tidak bisa lepas dari mulut seorang wanita bernama Yuwen. Tapi senyum itu perlahan memudar seiiring tatapan matanya yang tidak juga berhasil menemukan sosok kecil dengan jaket kebesaran di bangku yang khusus dia berikan kepada penonton spesial malam iniKemana kamu, NancyYoutan Poluo mekar di sini, seperti yang aku janjikan.

***

Malam itu, jauh dari keriuhan San Diego Civic Theatre yang sedang menampilkan Wu Dao Performing Arts –kelompok kesenian yang terkenal akan penampilannya dalam membawakan budaya-budaya Tiongkok, di pemukiman kumuh belakang Plaza Camino, seorang gadis kecil melepas jaket yang telah menemaninya seharian. Ia juga melepas kaos dan celana jeans kusam miliknya. Malam ini seharusnya dia menyaksikan bunga youtan poluo yang sedang mekar. Entah benar atau tidak ucapan kakak penari itu, tapi ia sangat ingin melihatnya. Bunga yang menurut legenda butuh waktu 3000 tahun untuk melihatnya lagi.

Ia memandangi satu-satunya barang mewah di tempat tinggalnya. Sebuah cermin tinggi dan lebar yang sudah retak di banyak sisinya. Diangkatnya satu kakinya perlahan hingga lututnya mampu menyentuh hidung, kemudian disandarkan kaki yang sudah terangkat tinggi itu ke cermin. Ada rasa sakit yang timbul. Bukan sakit karena gerakan itu –dia sudah menguasai gerakan itu sejak dahulu, tapi sakit yang timbul di seluruh badannya. Kertas karton besar bertuliskan “NEED MONEY FOR FOOD” yang setiap hari ia bawa dan bentangkan sambil mengharap belas kasihan para pejalan kaki, kini tergeletak di dekat kakinya. Sedikit percikan darah mulai mengering di sana.
            
Nancy sudah sering dipukul, ditampar, bahkan disayat tangannya oleh Mama karena hal-hal kecil yang membuat Mama marah. Mama sangat mudah tersulut amarah akhir-akhir ini. Mungkin karena beberapa hari ini ia pulang dengan tidak membawa banyak uang karena diam-diam sering keasikan menonton latihan tari di gedung pertunjukkan megah itu.

Selama ini Nancy tidak pernah menangis. Tapi kali ini, sambil melihat bayangannya di cermin, Nancy mulai menangis. Seluruh tubuhnya yang telanjang terlihat dengan jelas di cermin itu. Luka lebam hampir di sekujur tubuh kurusnya. Di kakinya masih ada satu sayatan merah yang belum berhenti mengeluarkan darah. Luka itu baru saja diterimanya malam ini saat mencoba kabur dari rumah. Saat ia mencoba pergi diam-diam untuk melihat bunga youtan polou yang sangat langka. Luka itulah penyebab tangisnya malam ini karena untuk pertama kalinya mama menyakiti sepasang kaki yang sangat dicintainya. Kaki yang diharapkan akan membawanya menjadi seorang penari.




[1] latihan
[2] Tarian yang diciptakan dari budaya tradisional Tiongkok.

Cat: Cerpen ini menjadi kontributor di blog Kampus Fiksi angkatan 11 (www.kf-11.blogspot.com)