Selasa, 13 Januari 2015

Cerpen : Mencari Pasar





















Dimuat di Tabloid Nova No.1381 Tahun 2014


“Pasar dimana Nduk?“ sayup-sayup kudengar pertanyaan Ibu dari arah dapur rumahku. Tidak berteriak, lembut saja tapi mampu menggugahku dari tidur. Perlahan, masih dengan rasa kantuk yang cukup mengusik, aku berjalan ke arah dapur.

“Ibu mau ke pasar?“ Pertanyaan yang keluar dari mulutku itu hanya basa-basi belaka mengingat kemanapun Ibu mengunjungi rumah anak-anaknya yang kini tinggal di berbagai kota, hal pertama yang akan beliau cari adalah pasar. Dulu, aku pernah bertanya kenapa Ibu selalu mencari pasar dan jawaban beliau, “Karena kalau tidak tahu pasar, Ibu tidak tahu mau ngapain. Ibu cuma pintar di dapur. Yang lain-lain Ibu ndak ngerti.

Lha iya, dapurmu kosong begini, Ibu mau masak apa?“ Tanya ibu sambil tangannya tidak berhenti merapikan dapurku yang jarang tersentuh itu.

Hidup di kota besar seperti Jakarta membuatku ketularan gaya hidup praktis. Apalagi statusku yang masih lajang dan tinggal sendirian membuatku belum merasa perlu untuk berinteraksi dengan segala hal yang berkaitan dengan dapur. Dapurku hanya dihuni oleh kulkas, beberapa piring, gelas, sendok, peralatan masak seadanya, penanak nasi elektronik, serta kompor gas yang gasnya sendiri sudah hampir satu tahun belum pernah diganti sejak aku masih tinggal di kontrakan sempit daerah Kalibata.

Rumah yang baru saja kubeli dengan mencicil KPR di daerah Jagakarsa ini bagiku hanya tempat bermalam saja. Selain karena kemacetan ibukota yang memaksaku harus berjibaku dengan waktu dan meninggalkan rumah ini sejak pagi sekali, jam kerja di kantorku yang tidak tentu juga membuatku jarang sekali menghabiskan waktu di rumah. Akhir minggu pun aku lebih memilih menghabiskan waktu di luar untuk berkumpul dengan teman-teman.

Tapi sejak kemarin ada Ibu. Hadirnya Ibu di rumah ini memberi suasana yang berbeda. Suasana rumah masa kecil yang begitu kental akan pesona kuat seorang ibu. Ibu  yang dari kemarin lalu lalang mengitari rumah untuk menata ini itu agar sesuai di tempatnya, Ibu dengan rambut disanggul kecil, Ibu yang selalu memakai jarik dimanapun sehingga dia selalu tampak anggun. Hadirnya Ibu membuatku enggan meninggalkan rumah.

“Nanti Disa antar Ibu ke pasar. Ibu mau masak apa?” Tanyaku

Kamu mau dimasakin apa? Rawon?

Mau banget, Dias mandi sekarang, Bu.” Kantuk itu seolah lenyap ditiup semangat yang muncul mengetahui Ibu akan memasak makanan kesukaanku. Tidak perlu mandi berlama-lama, aku pun segera mengantar Ibu ke pasar yang dekat dengan rumah.

“Pasar dekat begini kok pakai dianter, Nduk. Kamu harusnya kasih tahu Ibu saja arah-arahnyA,” protes Ibu kepadaku setelah kami selesai berbelanja. Ibu selalu begitu, tidak pernah mau merepotkan. Tidak mau orang menjadi susah karenanya. Walaupun orang itu adalah anaknya.

“Ya kan, Ibu baru pertama kesini, nanti nyasar, jawabku singkat sambil mengemudikan motor ke arah rumah lagi.

Cuaca pagi itu sangat cerah. Cenderung gerah. Bersyukur aku sudah menyelesaikan acara belanja tadi. Tidak tahan rasanya berada lama-lama di luar. Padahal ini baru pukul 8 pagi. Jakarta semakin panas saja.

“Kok iso yo aku lali beli kluwek,” kudengar gumaman Ibu di dapur.

“Kluweknya lupa bu?” Tanyaku sambil menghampiri Ibu ke dapur.

“Iya, padahal itu yang paling pokok. Ibu ke pasar sebentar ya, Nduk. Sudah hapal kok, ndak usah diantar, potong Ibu sebelum aku membuka mulut untuk menawarkan mengantarnya.

“Ya sudah, hati-hati ya, Bu.

Walaupun aku memaksakan mengantar, Ibu pasti bersikeras tidak mau. Aku cukup mengerti Ibu sehingga memilih untuk melakukan apa yang beliau minta ketimbang berdebat panjang dengannya yang pasti akan berakhir dengan kekalahanku.

Selepas Ibu pergi ke pasar, aku memilih untuk mandi. Selesai mandi, rasa kantuk yang tadi pagi masih tersisa datang lagi menyerang. Entah karena kesejukan setelah mandi, atau karena suasana hari libur, mataku menuntut istirahat.

***
           
Entah sudah berapa lama tertidur, aku terbangun oleh suara adzan dzuhur yang berkumandang dari masjid di dekat rumah. Aku segera menuju dapur. Tapi kondisi dapur masih sama seperti saat tadi pagi Ibu tinggalkan. Kubuka tudung saji tapi tidak ada rawon disana. Hanya ada nasi uduk tadi pagi yang belum sempat kumakan sepulang dari pasar. Kucari Ibu di sekeliling rumah, tapi tidak berhasil kutemukan. Kemana Ibu? Jantungku seolah dipompa lebih kencang menyadari ketidakberadaan Ibu di rumah sejak tadi pagi ia menuju pasar.

Sejenak kutarik nafas dalam-dalam, menenangkan pikiran dan mencoba berpikir positif. Mungkin Ibu mampir sejenak ke toko atau ngobrol dengan ibu-ibu lain kenalan baru sehingga lupa waktu. Ah, tapi ini Jakarta, terlalu naif pikiranku.  Aku bergegas menghidupkan motorku dan mulai mencari Ibu. Aku mulai dengan pasar pagi yang kami kunjungi tadi. Pasar sudah mulai sepi, sudah banyak kios yang tutup. Aku mulai bertanya satu persatu kepada orang-orang di sekitar pasar. Mulai dari tukang ojek, tukang jual makanan yang bertebaran di sekitar pasar, hingga gelandangan yang ada di emperan toko. Hasilnya nihil, tidak ada yang melihat wanita tua berbaju kebaya dan memakai jarik seperti yang aku gambarkan kepada mereka. Penampilan ibu sangat mencolok sehingga pasti ada yang mengingatnya kalau melihat.

Ibu dimana? Apa yang terjadi pada Ibu sekarang? Aku bergidik membayangkan kemungkinan-kemungkinan buruk yang mungkin menimpa Ibu. Tiba-tiba terlintas di kepalaku tangan dan leher Ibu yang dipenuhi dengan perhiasan emas saat pergi tadi pagi. Ah bodohnya, kenapa aku tidak mengingatkan Ibu untuk melepasnya saat ke pasar tadi. Bayangan tentang kemungkinan terjadinya kejahatan terhadap Ibu membuatku lemas. Ah, tidak..Alloh pasti melindungi Ibu. Ibu orang yang baik.

Aku mulai lelah, keringat sudah membanjiri seluruh tubuhku. Bajuku basah, kepalaku pusing, pandanganku mulai berputar-putar. Akumulasi dari perut yang belum diisi sedari tadi pagi, sinar matahari yang sangat galak siang ini, ditambah kecemasan yang luar biasa akan keberadaan Ibu.

Aku menghampiri warung nasi dan memesan teh manis untuk sekedar menaikkan gula darahku agar aku tidak jatuh pingsan di pinggir jalan. Tidak terpikir bagiku untuk makan, makan mengingatkanku akan rawon yang harusnya siang ini tersedia di meja makan, mengingat kata rawon membuat jantungku seperti dicengkeram kuat. Rasanya sakit. Bagaimana jika rawon itu adalah pesan perpisahan Ibu. Tidak. Aku belum siap.

Setelah merasa lebih baik, aku melanjutkan pencarian lagi. Terpikir olehku untuk segera melapor ke kantor polisi, tapi sebelumnya aku harus mengecek rumah dulu, siapa tahu Ibu sudah kembali dan dia pasti kebingungan menemui rumah kosong. Tapi harapan itu pupus. Rumah masih sepi, tidak ada tanda-tanda ada yang datang. Tidak ada Ibu.

Aku semakin kalut. Kupacu lagi motorku tak tentu arah. Menanyai setiap orang yang aku temui, memasuki setiap gang kecil, menyusuri rel kereta api, berkeliling terminal, semuanya kulakukan untuk mencari Ibu. Aku panik. Akhirnya aku arahkan motorku ke pos polisi terdekat. Di sana, aku dimintai keterangan tentang kronologis kejadian, biodataku, dan juga ciri-ciri Ibu. Kata petugas, lebih baik bila ada fotonya sehingga bisa segera dilakukan pencarian. Aku ingat foto keluarga di rumah, dan segera bergegas pulang lagi ke rumah untuk mengambil foto tersebut. Seluruh badanku rasanya letih luar biasa, tapi aku tidak bisa berhenti dan hanya menunggu.

***

Hari sudah gelap saat aku tiba di rumah. Bergegas kukeluarkan foto keluarga di ruang tamu dari bingkainya. Kutatap wajah-wajah di foto itu dan gelombang rasa takut yang semakin besar kian menyerang karena menyadari sampai saat ini aku belum berani untuk memberi kabar tentang hilangnya Ibu kepada kakak-kakakku. Ini baru hari kedua Ibu di Jakarta. Ibu tidak kenal siapa-siapa. Mereka pasti akan menyalahkanku.

Kuberanikan diri meraih handphone dan mulai memencet nomor telpon kakak tertuaku. Nada panggil pertama aku putus karena bunyi bel di depan pintu. Aku pun membanting handphone ke atas kasur dan segera berlari ke pintu depan sambil berharap tebakanku benar. Benar saja.

“Ibu!!! Teriakku.
           
“Ya...Alloh, Ibu! Ibu darimana? Bikin aku khawatir setengah mati, keliling seharian mencari Ibu, sampai aku lapor polisi. Ibu darimana?! Kalimat-kalimat itu keluar dari mulutku layaknya air bah, menyerang senyum Ibu. Tanpa memberi Ibu waktu menjawab sedikitpun aku langsung menghambur ke pelukannya, hal yang sangat jarang aku lakukan.
           
Terlalu sibuk menyambut Ibu membuatku nyaris tidak menyadari kehadiran seorang wanita tua lainnya seumuran Ibu hingga Ibu melepas pelukanku dan memperkenalkan wanita itu kepadaku, Nduk, ini Ibu Ratih. Teman baru Ibu.”
           
“Teman baru?” Tanyaku.
           
“Iya, tadi Ibu bertemu di pasar. Kita keasikan ngobrol.”
           
“Sampai semalam ini, Bu? Tanyaku sambil melirik Bu Ratih.
           
Ibu Ratih terlihat agak kikuk melihat tatapanku. Diapun menyela, “Maaf ya Disa, tadi pagi kita keasikan ngobrol. Akhirnya karena nggak enak ngobrol di pasar, Ibu ajak Ibumu ngobrol di rumah. Kebetulan Ibu sendirian di rumah. Anak-anak Ibu juga semua di luar kota, sama seperti Ibumu.”

“Sudah-sudah Nduk, ini ada tamu bukan diajak masuk malah ngobrol di depan. Mari masuk, Bu, ini rumah anak saya,” ujar Ibu sambil mempersilahkan Bu Ratih masuk.

Ibu Ratih tampaknya masih tidak enak dengan reaksiku yang agak sinis sehingga dia segera berpamitan pulang dan berjalan menuju mobilnya setelah sebelumnya aku mengucapkan terimakasih dengan kaku.

“Ibu Ratih itu suaminya sudah meninggal juga lo, Nduk, anaknya ada di Banjarmasin, Jambi, dan yang bungsu di Amerika katanya. Hebat ya.”

Aku masih enggan merespon cerita Ibu. Terbayang semua kepanikanku tadi mencari Ibu hingga nyaris pingsan dan ternyata beliau asik ngobrol tidak kenal waktu dengan orang yang baru dikenal. Ibu seperti tidak menyadari kekesalanku dan terus saja bercerita tentang Ibu Ratih. Kenapa Ibu menjadi cerewet begini cerita ini itu. Aku jadi sebal melihatnya sehingga dengan tidak sabar aku memotong ceritanya.
           
Ibu tahu nggak sih tadi aku panik mencari Ibu? Aku hampir pingsan di jalan karena kecapean dan belum makan. Aku bertanya hampir ke semua orang di jalan apa ada yang melihat Ibu, keliling ke terminal, stasiun, bahkan sampai lapor polisi. Eh, Ibu malah asik-asik ngobrol di rumah orang yang baru kenal di pasar. Gimana kalau dia orang jahat? Ini Jakarta, Bu, bukan di daerah kita. Ibu nggak kenal siapa-siapa di sini! Kataku berapi-api. Semua keletihan tadi membuatku marah setelah mengetahui semua yang  terjadi.
           
Kulihat Ibu mendekat, menarik kursi di dekatku, lalu duduk, “Ibu tahu, Nduk. Tadi kan kamu sudah bilang itu semua saat Ibu datang. Mau bagaimana lagi , kamu tahu Ibu ndak bisa maenan HP untuk ngabarin kamu, nomor kamu aja Ibu ndak hapal. Tadi Ibu memang merasa nyambung sekali ngobrol sama Bu Ratih. Ibu bisa merasakan dia orang baik makanya Ibu tidak keberatan diajak ke rumahnya,” jawab Ibu dengan nada lembut seperti biasa, namun kali ini kelembutan itu tidak bisa mencairkan kemarahanku.

“Tapi Ibu keterlaluan. Ibu nggak mikirin perasaan aku. Paniknya aku nyariin Ibu. Aku takut Ibu kenapa-kenapa. Ibu nggak mikirin semua itu.” Aku mulai terisak. Sungguh aku kecewa sekali dengan sikap Ibu tadi. Sosok Ibu yang sangat bijak itu mendadak memudar di mataku. Sikapnya kali ini sungguh egois.
           
Iya, Ibu minta maaf Nduk. Ibu salah sudah membuatmu panik. Tapi... seketika suara Ibu melirih, ia menunduk sejenak kemudian menatapku.

Ibu kesepian,” lanjutnya.
           
Aku yang masih berbalut emosi seolah tidak peduli dengan tatapan mata sayu itu, tidak peduli dengan nada lirih yang tidak pernah kudengar itu, aku bahkan dengan sinisnya berkata, Kesepian bagaimana sih, Bu? Setiap hari kami anak-anak Ibu pasti menelpon. Kapanpun Ibu datang ke rumah kami, kami semua akan senang. Bahkan jika Ibu mau tinggal bersama salah satu dari kami, kami akan sangat gembira, Bu. Tapi Ibu menolak kan, Ibu bilang tidak mau meninggalkan rumah kita dulu.”

Nduk, Ibu butuh teman bicara, sejak kepergian ayahmu tidak ada lagi teman Ibu bertukar pikiran. Ibu tahu kalian selalu ada untuk Ibu. Kalian anak-anak yang sangat perhatian. Tapi ini berbeda Disa. Mungkin nanti...nanti suatu hari kamu akan mengerti kesepian ini.” Perlahan Ibu bangkit dari kursinya, mengelus lembut rambutku, dan segera beranjak ke kamar. Meninggalkanku dan semua emosi yang masih meletup-letup di kepala.

***

Kesepian? Benarkah Ibu kesepian. Sebesar itukah rasa kesepian Ibu sehingga Ibu lebih memilih mengobrol dengan seorang teman ketimbang menyiapkan rawon kesukaanku? Sejak ayah pergi meninggalkan dunia ini, Ibu memang tinggal sendiri. Setiap bulan Ibu mempunyai jadwal untuk mengunjungi anak-anaknya bergantian. Seperti bulan ini. Giliran Ibu menginap di rumahku. Biasanya tidak lama, hanya seminggu saja.

Ibu adalah ibu rumah tangga sejati. Semua pekerjaan rumah dikerjakannya sendiri tanpa pernah menyuruh atau meminta bantuan. Semua masakan bisa dibuatnya dan semua rasanya pas di lidah. Buatku, Ibu selalu bisa menyibukkan dirinya. Mencari kegiatan apa saja untuk dikerjakan. Jadi bagiku, setelah kematian ayah, tidak ada yang berubah. Ibu tetaplah wanita tegar sehingga kalimat Ibu kesepian itu tidak pernah terbayangkan olehku diucapkan oleh Ibuku. Tapi ternyata aku salah, wanita tegar itu butuh didengar seperti ayah dulu selalu mendengarkan cerita Ibu sekecil apapun cerita itu. Wanita tegar itu butuh ditemani seperti dulu ayah menemaninya di setiap waktu. Hal yang tidak bisa anak-anaknya lakukan.

Lalu aku membayangkan hari-hari Ibu di rumah tanpa ayah. Dulu semua yang Ibu kerjakan hanya untuk ayah. Sekarang untuk siapa Ibu bangun pagi? Untuk siapa Ibu pergi ke pasar? Untuk siapa Ibu memasak dan membersihkan rumah? Ibu benar. Ibu kesepian. Air mataku menetes membayangkan hari-hari berat yang Ibu lalui tanpa ayah dan tanpa kami anak-anaknya ada di sisi. Mengisi hari sendirian dan hanya menunggu jam berdentang di angka tujuh malam untuk menunggu telpon dari kami anak-anaknya yang melakukan itu lebih karena kewajiban.

Ibu...Ah kenapa baru sekarang semua terlihat jelas. Masih ada waktukah untuk memperbaiki semuanya?

Aku beranjak ke kamar Ibu, melihatnya sudah terlelap tidur masih dengan kebaya dan jariknya. Ibu yang tidak pernah meminta itu kini semakin menua. Sementara kami anak-anaknya semakin sibuk dengan kehidupan kami sendiri. Mulai lupa kalau Ibu yang membuat kami sehebat ini. Membangun pondasi kehangatan yang kuat sejak kami kecil, membentuk kami tanpa membentak, mencukupi semua kebutuhan kami hingga kami lupa rasanya makan di tempat lain dan bermain di tempat lain selain rumah. Ibu telah menjadi istri yang nrimo dan tidak pernah menuntut kepada ayah saat keluarga masih dalam kondisi sulit. Ibulah tokoh utama di balik kesuksesan ayah dan kami. Kini di hari tuanya Ibu kesepian.

***

Aku sudah mengambil keputusan, aku akan temani Ibu. Aku akan pulang dan menemaninya menghabiskan waktu senja.Ya, aku akan pulang bersamamu, Bu. Janjiku sambil menatap punggung Ibu yang sudah terlelap.
           
Bunyi sms mengusik lamunan panjangku. Dari kakak pertamaku,

 "Kamu tadi kenapa nelpon kok mati? Ibu gimana? Bulan depan aku udah rencana liburan sama masku tapi piye ngomong ke Ibu, ya agar dia nggak nginep di sini dulu. Nanti malah tersinggung. Bingung aku".  
           
Aku terdiam membaca untaian pesan singkat itu. Ah Ibu..aku yang akan menemanimu, Bu. Aku janji.