Minggu, 06 Desember 2015

Karena Hidup Adalah Organisasi


Cerita ini bukanlah kisah besar layaknya biografi orang sukses, kisah ini hanya kisah kecil yang ingin saya hadirkan juga bukan untuk tujuan besar seperti menjadikan cerita ini garis besar haluan negara atau bahkan menjadikan kisah ini sebagai kisah inspiratif sepanjang masa. Semua cerita, kisah, atau curhatan yang akhirnya saya tuliskan hanya punya satu tujuan kecil, sangat kecil, yaitu sebagai “spion tengah”, tempat di mana ada waktunya saya harus melihat ke belakang, entah itu untuk berhati-hati atau untuk merias diri. Btw, kalimat barusan jangan dipercaya, karena SIM A penulisnya tergolek karatan di dompet, nggak pernah dipake.
            Saat menjadi seorang siswa di bangku sekolah, saya adalah orang yang hanya sangat peduli dengan persoalan akademis. Saya takut kalau di raport ada nilai jelek, saya (hampir) tidak pernah bolos sekolah, saya takut tidak masuk kelas IPA, saya ikut banyak les-les mata pelajaran, intinya yang saya takutkan hanya nilai tertulis di atas kertas bernama raport dan ijazah. Saya tidak peduli dengan organisasi-organisasi sekolah. Satu-satunya organisasi yang saya ikuti saat sekolah hanya teater.
            Dunia kuliah menjadi “culture shock” tersendiri buat saya. Saya yang terbiasa menghadapi guru dengan materi yang sudah jelas, tugas yang sudah jelas, nilai yang sudah jelas, tiba-tiba  masuk ke dunia yang serba tidak jelas. Tidak jelas dosennya pakai buku apa untuk dibaca, tidak jelas instruksi tugasnya apa, tidak jelas materi ujiannya apa, bahkan tidak jelas dosennya masuk atau tidak. Saya yang selalu “disuapi” oleh materi yang sudah tersusun rapi kini harus berlari-lari “mencari makan” sendiri kalau mau nilai-nilai saya menyunggingkan huruf A.
Dunia kerja adalah pengalaman beorganisasi berikutnya (yang tentu lebih pelik). Saya pernah bekerja di retail farmasi modern di awal-awal masa fresh graduate. Cukup lama, hampir dua tahun. Keinginan untuk segera lepas secara financial dari orangtua memaksa saya untuk menyegerakan mengakhiri status fresh graduate menjadi karyawan. Saat itu saya tidak punya sama sekali bayangan tentang begitu berbedanya bekerja di industri retail dengan pekerjaan sebagai karyawan kantoran.
Hari-hari pertama saya mulai bekerja adalah hari-hari penuh kejutan. Jabatan yang tertera di nametag saat itu memang cukup gaya, Store Manager alias menejer toko. Intinya saya bertanggung jawab terhadap keberlangsungan segala kegiatan operasional di toko yang menjadi tanggung jawab saya tersebut. Tanggung jawab itu meliputi tanggung jawab terhadap uang, barang, dan orang. Oleh karena tanggung jawab yang melekat itu, saya diberi bawahan sekitar 10-15 orang yang banyak di antara mereka usianya rata-rata di atas usia….saya? Bukan. Usia ibu saya.
Dilematis. Di satu sisi, ada beban tanggung jawab yang harus dipenuhi dengan pertaruhan gaji dan posisi. Di sisi lain, ada para mbak-mbak, dan ibu-ibu yang dari sisi usia harusnya saya hormati. Ditambah lagi pengalaman memimpin saya hanya sebatas memimpin upacara pramuka, itupun saat saya duduk di bangku sekolah dasar. Situasi seperti ini yang kadang tidak pernah kita bayangkan dan persiapkan. Situasi disaat kita diberi tanggung jawab yang besar tapi merasa kecil, situasi disaat kita ditunjuk menjadi penanggungjawab tapi masih sering lepas tanggungjawab.
Cara orang menyikapi masalah tentu berbeda-beda, semua tergantung dari banyak faktor dalam hidupnya. Faktor tingkat pendidikan, faktor pengalaman hidup, faktor teman, dan lingkungan. Saya pernah mendengar sebuah kalimat yang keluar dari seorang senior yang namanya Alhamdulillah saya lupa, dia berkata,

” Setiap orang suatu saat nanti pasti akan pernah ditunjuk untuk memimpin…”.

Iya, segitu saja kalimat yang saya ingat, tapi dari kalimat pendek yang bahkan saya lupa lanjutannya itu cukup memberikan suntikan pede bahwa menjadi seorang pemimpin itu tidak bisa dihindari, kalau tidak memimpin dalam skala besar ya pasti akan memimpin skala kecil. Memimpin diri sendiri contohnya.
Keyakinan bahwa siap-tidak siap kita akan menjadi pemimpin itulah yang akhirnya membantu saya bertahan bekerja di bisnis retail farmasi tersebut selama dua tahun sebagai pimpinan sebuah lingkup kecil dari perusahaan (ya tentu juga karena kontraknya memang dua tahun jadi mau tidak mau saya harus bertahan ketimbang membayar pinalti dalam jumlah besar hehe..).
Di awal-awal masa kerja, oleh atasan saya, saya selalu didoktrin untuk menjadi pribadi yang bertangan besi dalam artian tegas, berjarak, dan mengelola toko dengan penuh kedisiplinan.  Dia menyadari betul kelemahan saya dari segi umur yang menyebabkan saya sungkan untuk marah-marah kalau terjadi kesalahan. Menurutnya, itu satu-satunya cara untuk membuat saya bisa mengendalikan jalannya kegiatan operasional toko dengan staff-staff yang sadar betul kejunioran saya. Bagi atasan saya “Kalau lo galak, bawahan bakal nurut sama lo dan artinya lo bisa push mereka biar mencapai target artinya lagi lo dapet insentif dan perusahaan untung gede” tapi bagi saya yang tidak berbakat galak dan lumayan paham kondisi emosional para bawahan yang setiap hari saya temui “Kalau gw galak, bawahan bakal ngambek, nyinyir, nggak mau dengerin omongan gw, dan akan berakhir dengan surat resign massal mereka atau gw karena nggak betah”. Saya dan atasan saya memang berbeda menyikapi masalah ini.
Di minggu-minggu pertama,  cara yang diminta atasan saya sempat saya terapkan, tapi lama-kelamaan saya mulai lelah menjadi orang lain. Saya tidak bisa menikmati pekerjaan saya, saya tidak memiliki kedekatan emosional dengan teman-teman kerja saya yang hampir setiap hari bertemu, dan jauh di dalam hati saya, sebenarnya saya meyakini kalau menjadi pemimpin/pimpinan dalam lingkup sekecil apapun adalah soal memberi contoh. Ayah memberi contoh shalat kepada anaknya agar anaknya shalat, kakak memberi contoh nilai baik kepada adiknya agar adiknya rajin belajar, atasan memberi contoh datang tepat waktu di kantor agar anak buahnya sungkan datang terlambat.
Bagi saya yang newbie dan jelas-jelas tidak mungkin menebar pesona agar diikuti kata-katanya, maka saya lebih memilih untuk mengembangkan kepercayaan dan loyalitas bawahan dengan cara menjadi pendengar yang baik sekaligus memberi contoh terhadap semua pekerjaan. Saya harus datang lebih pagi dari mereka, saya harus memiliki product knowledge lebih baik dari mereka, saya harus menulis pembukuan lebih rapi dari mereka, bahkan saya harus menyapu lebih bersih dari mereka. Itu memang bukan jobdesc saya, tapi mereka harus tahu kalau saya bisa melakukan lebih baik dari mereka dan karena itulah saya ditunjuk untuk menjadi pimpinan, sehingga mereka bisa percaya kepada kemampuan saya dan tidak melihat umur saya yang jauh lebih sedikit.
Empati menurut saya adalah hal penting lainnya saat siapapun akan duduk menjadi pimpinan bagi beberapa orang. Kita harus mengenal betul pressure apa yang akan didapatkan oleh bawahan sehingga  bisa menempatkan diri dalam posisi mereka dan menjadi problem solver yang bijak terhadap berbagai permasalahan. Waktu dua tahun cukup membuat saya  mengenal pressure yang akan didapatkan seorang pekerja retail. Mulai dari target yang terus menerus dinaikkan, jam kerja yang luar biasa tidak bersahabat, libur di saat  kebanyakan orang (pekerja kantoran) masuk dan masuk di saat orang libur, lembur yang kadang mendadak dengan kompensasi yang kecil, bekerja dengan sistem shift yang cukup mengacaukan jam tidur, resiko kehilangan barang yang dijual atau bahkan uang, belum lagi gaji yang tidak sesuai dengan segala tekanan yang didapat, dan perlakuan dari customer yang kadang tidak bersahabat. Fyiuuh…
Selain itu juga saya mempertimbangkan semua suara mereka dan menjadikan itu rujukan penting dalam sebuah keputusan. Ternyata cara ini cukup berhasil bagi saya untuk bisa mengarahkan bawahan melakukan tanggung jawab yang dibebankan perusahaan kepada kami tanpa mereka harus kesal, marah, nyinyir dan juga membuat saya tidak kehilangan kedekatan emosional dengan teman-teman saya tersebut. Hal ini dibuktikan dengan growth toko yang terus naik, turn over karyawan yang menurun,  hasil stock opname yang semakin sedikit selisihnya, dan dipromosikannya saya ke jabatan yang lebih tinggi walupun terpaksa saya tolak karena alasan pribadi.
Akhirnya saya meyakini bahwa setiap orang sebenarnya telah memiliki skill sendiri-sendiri untuk mempengaruhi orang lain dalam mencapai sebuah tujuan. Bukankah itu tujuan dari manajemen (yang dilakukan oleh seorang manajer) ? Proses panjang menemui cara menjadi seorang manajer yang baik (baik disini adalah membuat saya nyaman sekaligus tujuan dan tanggung jawab yang dibebankan kepada saya bisa tercapai) dan lagi-lagi itu semua berbeda bagi setiap orangnya. Mungkin ada yang nyaman dengan cara kepemimpinan otokratis dimana semua keputusan ada di tangan pemimpin/pimpinan, atau ada juga yang memang sudah dari sananya mempunyai aura pemimpin sehingga kata-katanya pasti diikuti karena kharisma yang dia miliki.

Dari semua ngalor-ngidul di atas, saya hanya ingin memberikan sebuah testimony bahwa menjadi bagian dari sebuah organisasi apapun itu, bisa membantu kita membangun karakter kepemimpinan dalam diri. Tidak hanya untuk memimpin orang lain, tapi untuk memimpin kita sendiri. Memimpin kita untuk disiplin, memimpin kita mengambil tindakan-tindakan yang bijaksana, memimpin kita menemukan passion sehingga dapat maksimal dalam berkarya, dan memimpin kita meraih pencapaian-pencapain terbaik dalam hidup tanpa perlu menjadi seorang pimpinan.