Senin, 03 Oktober 2011

bagaimana kalau jadi maling?

 Kalau saya terlahir sebagai orang jahat mungkin saya akan memilih menjadi maling. Kenapa maling? Dalam pikiran saya, dosa mencuri lebih kecil daripada merampok, memperkosa, menculik, apalagi membunuh. Entah siapa yang sudah menanamkan pengelompokkan dosa itu di otak saya. Tapi bagi saya, dosa menjadi maling lebih kecil sehingga lebih mudah untuk minta ampunan kepada Tuhan. Minta ampunan? Tentu saja…saya kan tidak mungkin terus-terusan mau jadi orang jahat. Lagi pula rasanya saya bukan tipe orang yang berani untuk terang-terangan melakukan kejahatan. Saya seorang pengecut jadi pastinya kalaupun saya melakukan kejahatan, saya tidak mungkin ingin korban saya tahu bahwa saya pelakunya.

Sepertinya tidak susah untuk menjadi seorang maling. Saat saya dalam keadaan terdesak, ada kesempatan, dan saya berani untuk memanfaatkan peluang itu maka TUING..dalam sekejap jadilah saya seorang maling. Gampang kan? Sama sekali tidak sulit. Bagian tersulitnya hanya pada masalah keberanian. Beranikah saya memanfaatkan kesempatan yang sudah ada di depan mata? Punyakah saya bakat dan mental untuk menjadi seorang maling? Mungkin kalau caranya terlalu terang-terangan begitu saya masih belum berani. Tapi kalau caranya agak halus sih banyak yang sudah mencoba.

Maling dengan cara halus? Iya, malingnya juga pinter-pinter kok. Kadang malingnya punya jabatan rangkap seperti siswa atau mahasiswa. Saya tidak bicara tentang korupsi pejabat. Bagi saya korupsi itu terlalu halus kalau diibaratkan seperti maling karena nominal yang diambil juga jumlahnya besar kok. Lebih tepatnya mereka adalah perampok. Yah..tentu saja dengan cara yang halus juga.  Balik lagi ke masalah maling. Bila mendengar kata maling, yang ada di otak saya ya kalau nggak maling jemuran ya maling ayam. Kenapa? Karena mungkin selama saya mengenal kata ‘maling’ yang paling akrab digandengin dengan kata maling ya kata ‘ayam’ dan kata ‘jemuran’ lalu kata-kata berikutnya adalah ‘babak belur dihajar massa’. Maling dianggap sangat hina, bahkan mungkin terus bersaing memperebutkan kasta terendah dengan ‘copet’ dalam dunia kejahatan dengan tentu saja kasta tertinggi masih dipegang oleh koruptor. Sebegitu rendahnya kita memandang seorang maling sehingga kata-kata yang pantas keluar untuk mereka saat ditangkap massa adalah “hajar” atau “bakar”. Benar-benar pilihan yang sulit untuk seorang yang sedang berjuang hidup. Sayangnya, banyak diantara kita yang nggak sadar juga kalau harusnya bisa saja kata-kata “hajar” atau “bakar”itu ditujukan buat kita.

Kita??Iya, kita yang ngakunya sudah punya jabatan seorang siswa atau mahasiswa ternyata masih banyak juga yang mengincar jabatan maling. Caranya cerdas, bersih, kreatif, tapi buat saya tidak terhormat. Bayangkan saja, ternyata banyak di antara kita yang jadi maling keluarga alias maling uang orangtua. Bilangnya bayar uang SPP, uang kosan, uang bimbel, uang praktikum, uang buku, uang LKS, uang fotokopi bahan,uang les biola, piano, gitar, seruling, tamborin, harpa, dan lain-lain. Tapi ternyata uangnya dipakai untuk kebutuhan pribadi.

Mungkin inilah maling yang kastanya paling rendah di antara para maling. Ibarat peribahasa mereka ini dapat diibaratkan seperti kacang yang lupa akan kulitnya, pagar makan tanaman, air susu dibalas dengan air tuba, menggunting dalam lipatan, musuh dalam selimut, dan masih banyak lagi… Perbuatan yang benar-benar tidak bertanggungjawab dan memalukan. Kurang cukupkah semua yang orangtuanya sudah berikan sejak para maling itu ada dalam kandungan sampai harus mencuri uang orangtuanya dan membohongi mereka? Paket combo..membohongi dan mencuri sekaligus. Ck..ck..ck..ini yang saya katakan mental pencuri tapi berlindung dibalik jabatan sebagai orang yang terpelajar. Seorang pengecut yang sok berani. Jangan bangga akan pujian sebagai pencuri cerdas yang kreatif karena kata-kata tersebut hanya memiliki satu arti yaitu pengecut.

Buat saya, pencuri ayam di pasar yang berjuang demi memberi makan keluarganya (yah..walaupun tidak semuanya bertujuan semulia itu) jauh lebih terhormat dan berani dibanding pencuri-pencuri yang saat ini sibuk berbelanja baju, sepatu, tas, make up di mall, ke salon,dengan tujuan berusaha tampil seperfect mungkin agar topengnya sebagai maling tidak kelihatan, atau sedang mentraktir teman-teman atau pacarnya dengan hasil curian , atau maling-maling yang lagi mabok, ngeganja, ngedrugs sampe bego’ di kamar, atau sibuk otak-atik kendaraan padahal otaknya yang seharusnya diotak-atik, atau malah lagi investasi untuk suatu usaha yang walaupun kelihatannya pintar tapi tetap aja pakai uang haram dan kata ayah saya “memulai sesuatu yang baik itu harus dengan awal yang baik supaya hasilnya baik”.

Masih banyak lagi maling-maling yang mungkin saat ini sedang berkeliaran di sekitar kita. Mungkin sedang pamer barang-barang mahal, mungkin sedang ngebayarin kita makan, mungkin sedang membaca buku-buku baru. Lalu kenapa kita diam saja? Kenapa kita tidak meneriakkan “hajar” atau “bakar” kepada mereka, padahal kita tahu mereka juga pencuri sama seperti maling ayam atau maling jemuran. Apa karena kita sudah merasa biasa dengan cara maling seperti itu sehingga saat sang maling dengan bangganya bercerita bahwa dia baru saja maling uang bapaknya dengan alasan bayar tetek bengek kuliah atau sekolah kita hanya tertawa-tawa saja dan menganggap wajar. Atau karena kita juga maling, sama seperti mereka? Apa karena mereka punya jabatan rangkap sebagai orang-orang terpelajar? Ini adalah sebuah pembodohan dan kemerosotan moral. Bertindaklah. Bukan dengan “hajar” atau “bakar” karena budaya barbarisme seperti itu sudah seharusnya jauh kita tinggalkan kecuali kita mau disebut manusia primitif.  Bertindaklah dengan kapasitas kita sebagai orang yang terpelajar. Bertindaklah karena diam tidak akan pernah merubah apapun. Bertindaklah karena saat ini mental bangsa sedang di tangan maling-maling itu.

Jadi mungkin kalau saya dilahirkan menjadi orang jahat, maling tetap jadi pilihan saya. Tapi saya mau jadi seorang maling yang heroik. Berani berbuat ya berani bertanggung jawab. Siapa menabur angin ya dia menuai badai. Jadi jangan mau jadi maling yang biasa pakai cara-cara halus. Gak terhormat, dosanya sama, malah mungkin lebih besar karena yang jadi korban orangtua sendiri (lagi-lagi ini pemahaman saya tentang penggolongan dosa). Jadilah maling yang terhomat. Masalah tertangkap massa adalah resiko pekerjaan.

Tapi sampai saat ini, saya masih bersyukur dilahirkan jadi orang baik. Kenapa?Karena  saya tidak perlu minta ampunan dosa karena sudah jadi maling , selain itu saya tidak punya resiko tertangkap massa. Benar-benar pilihan hidup yang harus disyukuri untuk seorang penakut seperti saya. Tapi paling tidak, menulis ini adalah bentuk pilihan tindakan saya untuk terus mengingatkan.

it's like welcome again...

Hei...udah sekitar sebulan gw gak ngisi2 blog ini. Kenapa? Banyak pembenaran yang bisa gw sampaikan di sini, tapi intinya yah,,gw sibuk banget. I'm going to married next month. Yup..with Adi. Someone that i always told  in my post before. Bulan kemaren sekitar seminggu setelah lebaran tepatnya tanggal 11 September 2011 gw di lamar dan itu artinya gw dan keluarga bener-bener sibuk untuk mempersiapkan acara tersebut dan Alhamdulillah acara berjalan dengan lancar. Sekarang lagi masa calm down dulu..tapi bentar lagi undangan yang dicetak bakal jadi and it will take all my time again..mulai dari bagiin undangan, nyiapin hal-hal teknis yang sangat printil-printil, nyiapin tempat tinggal gw dan Adi ke depannya, de-el-el.. Benar-benar sibuk sayah..but am I happy? Yes..I'am.