Rabu, 21 September 2016

Saat Kita Anggap Semua Bisa Dibayar


Suatu hari, seorang ibu mendatangi saya untuk menanyakan syarat-syarat administratif tentang hal-hal yang berhubungan dengan pekerjaan saya. Seperti biasa, saya beri dia list berkas-berkas yang harus dia lengkapi. Selain itu, saya juga mengantarkannya ke beberapa tempat untuk membantunya melengkapi persyaratan administratif tersebut. Sepanjang saya memberi dia penjelasan dan dengan sibuknya mengantarkan dia ke sana kemari, ibu itu hanya tersenyum dan sesekali pandangannya terlihat agak ragu-ragu mengikuti langkah kaki saya yang (mungkin terlihat terlalu) bersemangat. 

Well, saya begitu bersemangat karena hari itu pekerjaan memang sedang tidak terlalu banyak.  Jadi, wajar saja jika ada satu pekerjaan yang berhubungan dengan tugas saya, saya akan melakukannya dengan sepenuh hati. Intinya i'm in a pretty damn good mood. Tidak selalu seperti itu, mungkin jika ibu itu datang di hari yang sangat hectic, saya hanya akan memberinya list persyaratan dan memberinya penjelasan tentang list tersebut. Tentu tidak akan sempat mengantarkannya ke sana kemari dan hanya akan menunjuk tempat-tempat tersebut dengan jari. Tapi, sepertinya ibu tersebut berpikiran lain karena saat saya selesai menunaikan tugas saya, ia mengangsurkan tangannya yang berisi uang kepada saya. Beberapa tahun ini, saya lumayan akrab dengan gerakan itu. Gerakan memberi sesuatu sebagai imbalan atas hal yang saya lakukan. Melihat dari matanya yang tidak langsung menatap mata saya saat memberikan uang melainkan menatap tidak teratur ke bawah dan ke samping, saya bisa pastikan bahwa hal yang dia lakukan ini juga membuatnya tidak percaya diri dan penuh keragu-raguan. Ragu menilai motif saya membantunya. Untuk uangkah? 

Wajah saya ternyata kurang berhasil terlihat tulus membantunya. Atau mungkin sebenarnya wajah saya sudah terlihat tulus tapi ibu tersebut yang tidak lagi memiliki kepercayaan bahwa ada orang yang mau menolongnya hanya karena ingin menolong bukan karena motif-motif lainnya. Lalu timbul lagi pertanyaan, apakah ketidakpercayaan itu berlaku untuk semua orang atau hanya karena saya berada di sebuah institusi yang banyak dianggap orang selalu mengharapkan imbalan yaitu instansi pemerintah? 

Sumber gambar : https://www.flickr.com/photos/68751915@N05/6355351769

Jumat, 16 September 2016

THE WHITE TIGER (ARAVIND ADIGA)


Buku ini adalah pemberian seorang teman yang (sangat) rajin memberi saya buku. Dia sendiri bukanlah penikmat fiksi, namun setiap kali sehabis membaca buku pemberiannya, saya selalu merasa wajib untuk mereview buku tersebut dan mengirim link review  untuknya. Untuk apa saya juga tidak tahu, mungkin untuk membuatnya menyukai membaca buku-buku fiksi, mungkin juga agar blog saya ada pengunjung hahaha...

Well, this is it...

"...Di hutan, hewan apakah yang paling langka -sosok yang hanya muncul sekali dalam satu generasi?"

Saya berpikir sebentar lalu menjawab, "Harimau putih." (Hal.39)


Harimau putih itu adalah Balram. Seorang pemuda India yang hidup dalam kemiskinan. Secara garis besar, buku ini menceritakan tentang perjalanan hidup Balram sedari ia kecil, perjuangan hidupnya bertahan dalam kemiskinan, bagaimana ia menjadi kebanggaan keluarga karena bisa bekerja sebagai supir (Ya. SUPIR.), kisah hidupnya sebagai supir yang berakhir dengan sebuah pembunuhan yang ia lakukan terhadap majikannya yang sangat ia puja, dan bagaimana kehidupannya setelah menjadi buronan hingga bisa menjadi orang yang (menurutnya) hebat. Seluruh cerita itu disusun dalam bentuk surat yang ia tujukan kepada Perdana Menteri China. 


Jika akhirnya ada hal yang membuat saya bertahan untuk membaca buku yang seolah-olah lahir dari kebencian ini, salah satunya adalah cara penulis bernarasi, menyelipkan informasi politik, sosial, dan budaya mengenai India dalam buku ini. Oiya, motif Balram membunuh majikannya, Ashok, yang awalnya menjadi sumber rasa penasaran saya ternyata tidak memperoleh jawaban yang memuaskan. Terlepas dari apakah yang penulis ceritakan terlalu dilebih-lebihkan atau tidak, tapi saya yakin ada beberapa bahkan mungkin banyak kebenaran di dalamnya. Kemiskinan, korupsi, oknum kepolisian yang tebang pilih dalam menyelesaikan masalah hukum, penindasan kepada kaum yang lemah, masalah pendidikan, kekurangan air bersih, pelacuran, dan masih banyak lagi, merupakan masalah yang tidak bisa ditutupi. Tapi separah apa, hanya Balram-Balram lain yang mengetahuinya.


Ada beberapa konsep menarik yang saya temui dalam buku ini. Salah satunya, adalah Teori Kandang Ayam. Teori ini menganalogikan kaum miskin di India berada di sebuah kandang ayam yang besar. Kejujuran yang mereka lakukan, pembantu yang setia terhadap majikan, semangat melayani yang begitu besar adalah karena begitu efektifnya kandang ayam tersebut mengurung jutaan pria dan wanita. Kurungan itu bernama keluarga India. Itu adalah alasan orang India terjebak dan terikat ke dalam kandang. Kejahatan yang mereka lakukan hanya akan memberi dampak buruk terhadap keluarga mereka. Keluarga besar mereka tepatnya. Dan tidak ada seorang pun yang tega melihat keluarganya diburu dan disiksa atas kejahatan yang mereka lakukan tentunya.


"...semangat melayani yang sedemikian kuat sehingga sekalipun Anda menaruh kunci kebebasan di tangan seseorang, dia pasti akan melemparnya kembali kepada Anda dengan marah." (Hal.188)


Kalimat itu cukup mewakili bahwa kebebasan itu bukan tidak mungkin dimiliki, namun kandang ayam tersebut dikunci dari dalam. Dijaga dari dalam. 


Pada akhirnya, buku ini memberi pelajaran bahwa sebaik apa pun kondisi kita saat ini, jika untuk mencapainya harus ada orang lain yang kita jatuhkan, maka kebebasan itu tidak akan pernah kita miliki. Raga kita mungkin berhasil untuk tidak berada di balik penjara besi, namun rasa bersalah, jiwa yang hitam yang tidak bisa lagi kembali putih, akan terus membayangi setiap langkah kita dengan rasa cemas. Cemas akan lengah.