
Dimuat di kampusfiksi.com (Cerpen Jumat) &Pemenang Arisan Cerpen Kampus Fiksi Angkatan 11 (putaran kedua)
Ini kali keduanya Yuwen tampil di San
Diego. Baginya dan seluruh tim Wu Dao Performing Arts, ini akan
menjadi musim dingin yang menyenangkan karena California bagian selatan banyak
mendapat cahaya matahari. Tidak seperti tahun kemarin dimana mereka harus
menghabiskan musim dingin di Eropa yang suhu udaranya turun sampai -20 derajat
Fahrenheit. Hal
sederhana lainnya yang menggembirakan bagi Yuwen dan penari lainnya adalah, San
Diego Civic Theatre memiliki tempat rehearsal[1] yang
lebih luas dan lebih banyak cermin dibanding gedung pertunjukkan lainnya.
Cermin-cermin itu sangat penting bagi para penari untuk mengukur seberapa
tinggi kaki mereka saat diangkat menentang gravitasi bumi –dan juga untuk
mengagumi diri sendiri. Tapi yang paling utama dari itu semua adalah tempat
mereka tampil dan berlatih kali ini memiliki lantai marley. Lantai
yang khusus untuk menari itu memang tidak bisa ditemukan di semua gedung
pertunjukkan. Paling tidak persediaan beberapa pasang sepatu yang Yuwen bawa dari New
York tidak akan banyak berkurang hanya karena lantai semen atau
karpet kasar yang dengan cepat bisa membuat bolong alas
kakinya.
***
Pagi ketiga Yuwen di San Diego dan lagi-lagi pandangannya jatuh pada sosok gadis
kecil yang melihat sesi latihan
mereka dari kaca lebar di sebelah kiri ruangan. Gadis kecil itu tidak sendiri,
ada beberapa orang yang juga ikut melihat sesi latihan yang harusnya tertutup.
Tapi yang membuat Yuwen mengingat kalau gadis itu tidak pernah absen sejak hari
pertama latihan mereka adalah penampilannya yang mencolok mata. Bagaimana
tidak, ia hadir di tengah-tengah kerumunan manusia yang berpakaian rapi dan
bersih. Tubuhnya yang kecil itu –bahkan sangat kecil, dibungkus oleh jaket
kebesaran, berpadu dengan celana jeans lusuh dengan size yang
juga sangat besar. Rambutnya yang kemerahan tampak kusam dan ia menggenggam
gulungan karton besar di tangan kanannya. Mata cokelatnya yang bulat besar
terus bergerak mengikuti langkah para penari. Mata itu memancarkan
keingintahuan sekaligus kegembiraan yang luar biasa.
Ironisnya, hanya mata itu yang tampak hidup
“Aku ingin menjadi penari.” Itu
kalimat pertama yang Yuwen dengar saat ia akhirnya menghampiri gadis itu karena
kalah akan rasa penasaran. Kalimat itu bahkan keluar sebelum Yuwen bertanya
apapun padanya.
“Siapa namamu?” tanya Yuwen akhirnya.
“Nancy,” jawabnya dengan suara lemah.
Melihat Nancy dari dekat ternyata jauh lebih
mengkhawatirkan dibanding menatapnya melalui kaca lebar di ruang latihan. Leher
gadis itu teramat kurus. Yuwen tidak tahu, apakah jaket kebesaran itu
digunakannya sebagai kamuflase agar terlihat lebih berisi, atau dia memang
membutuhkannya untuk merasa nyaman di cuaca musim dingin ini.
Yuwen menyadari kalau kondisi Nancy tidak
memungkinkan untuk menjadikannya seorang penari, tapi Yuwen juga tidak ingin
menjawab keinginan Nancy dengan kata-kata yang seolah-olah menghibur hati namun
hanya akan menjadi harapan semu bagi gadis itu. Di pertemuan pertama itu, Yuwen
memilih diam dan membiarkan mata cokelat Nancy terus menatap ke dalam ruangan
yang kosong ditinggal para penari berisitirahat. Tidak lama kemudian, Nancy
pergi.
***
Besoknya Nancy datang lagi.
Kali ini dengan syal rajutan besar mengelilingi lehernya yang kecil. Jaket yang
kebesaran itu masih dikenakannya. Saat sesi istirahat
berlangsung, lagi-lagi Yuwen mendatangi Nancy.
“Kenapa Kakak datang ke sini lagi?” Nancy
bertanya tanpa menatap mata Yuwen.
Yuwen sendiri sebenarnya heran dengan
ketertarikannya yang luar biasa terhadap Nancy. Yuwen merasakan seperti ada
sebuah magnet yang tubuh ringkih itu pancarkan agar dia selalu mendekat.
“Kamu tahu bunga youtan poluo, Nancy?” Yuwen bertanya
tanpa menjawab pertanyaan Nancy sebelumnya.
Nancy hanya menggeleng. Tapi pertanyaan itu
berhasil membuat mata coklat Nancy mengarah kepada Yuwen.
“Melihatmu mengingatkanku akan youtan
poluo.” Sedari kemarin, hal ini yang terus melintas di benak Yuwen saat
melihat Nancy. Bunga yang di musim pertunjukkan kali ini banyak disebut dalam
sesi latihan Wu Dao Performing Arts.
“Apa itu?”
“Bunga yang menurut legenda hanya tumbuh 3000
tahun sekali. Warnanya putih tidak ternoda, kecil seperti kamu, terlihat lemah,
tapi ternyata tangguh. Bila sudah tumbuh di suatu tempat, dia akan sulit untuk
dicabut. Menarik, karena bahkan dia tidak terlihat memiliki akar.”
Nancy tertawa mendengar cerita Yuwen. Wajah
itu ternyata masih menyimpan kecantikan. “Itu hanya legenda, Kak. Kalaupun ada, siapa
yang bisa menjamin kebenarannya? Siapa manusia yang umurnya sangat panjang
hingga bisa menghitung kelahiran bunga itu?” Pertanyaan kritis itu keluar dari
mulut yang terlihat tidak mampu mengeluarkan kata. Mengeluarkan kalimat
sepanjang itu membuat nafasnya terengah-engah. Nancy merapatkan jaket tebalnya
ke badan.
“Kamu sakit, Nancy?” tanya Yuwen melihat
tingkah Nancy.
“Ya, sakit keras,” jawabnya ringan.
Sakit apa yang dialami anak sekecil ini
sehingga mampu menghabisi seluruh berat badannya? Sakit apa yang dihadapinya
sehingga seluruh tubuhnya mengeluarkan aroma kesedihan? Yuwen
bertanya dalam hati.
“Aku akan menunjukkan youtan poluo padamu
besok. Tidak perlu menunggu 3000 tahun, Nancy,” ucap Yuwen spontan.
Mata Nancy terbelalak mendengar ucapan Yuwen.
Sejenak, Nancy terlihat sangat sehat dan bahagia.
“Ya, besok malam, temanku akan menunggumu di
sini dan mengantarkanmu menemuiku. Kita akan melihat youtan poluo bersama,”
jawab Yuwen lagi untuk meyakinkan Nancy.
“Aku akan datang. Terima kasih.” Wajah itu
menyiratkan kegembiraan yang sangat besar.
Jika Nancy memang sakit keras, maka aku akan
memberikan pengalaman yang indah untuknya besok. Janji
Yuwen pagi itu.
***
Gemuruh tepuk tangan terdengar di seantero gedung San
Diego Civic Theatre. Hampir seluruh penonton yang berjumlah
sekitar tiga ribu orang memberikan standing applause pada penampilan
terakhir malam ini sekaligus penampilan yang menyudahi rangkaian tur Wu
Dao Performing Arts di California Selatan.
“Bunga Youtan
Poluo Yang
Sedang Mekar[2] ditampilkan
dengan luar biasa cantik." Terdengar suara MC dua bahasa setelah
keramaian tepuk tangan berakhir.
Tarian yang baru saja ditampilkan memang
benar-benar memukau mata seluruh penonton. Begitu tirai dibuka, terlihatlah
kemegahan Buddha yang dilanjutkan dengan legenda tentang bunga yang hanya dapat
ditemui 3000 tahun sekali. Bunga Youtan Poluo yang berwarna putih tanpa cela
diterjemahkan dengan kostum penari yang berwarna putih bersih, tangkainya
yang tipis serta tampak lemah tergambar dalam langkah-langkah kaki penari yang
ringan seperti mengambang. Sangat cantik dan anggun.
Sejatinya, bunga ini bukanlah simbol
perpisahan, melainkan simbol sebuah kedatangan, tapi dipilihnya Mekarnya
Bunga Youtan Poluo sebagai tarian penutup lebih kepada kemegahan
sekaligus kesucian yang dihadirkannya.
Di sana, di atas panggung, di antara
puluhan orang dengan kostum buatan tangan yang memukau,
ada sebuah senyum yang tidak bisa lepas dari mulut seorang wanita bernama
Yuwen. Tapi senyum itu
perlahan memudar seiiring tatapan matanya yang tidak juga berhasil menemukan
sosok kecil dengan jaket kebesaran di bangku yang khusus
dia berikan kepada penonton spesial malam ini. Kemana kamu, Nancy? Youtan
Poluo mekar di sini, seperti yang aku janjikan.
***
Malam itu, jauh dari keriuhan San Diego Civic
Theatre yang sedang menampilkan Wu Dao Performing Arts –kelompok kesenian yang
terkenal akan penampilannya dalam membawakan budaya-budaya Tiongkok, di
pemukiman kumuh belakang Plaza Camino, seorang gadis kecil melepas jaket yang
telah menemaninya seharian. Ia juga melepas kaos dan celana jeans kusam
miliknya. Malam ini seharusnya dia menyaksikan bunga youtan poluo yang
sedang mekar. Entah benar atau tidak ucapan kakak penari itu, tapi ia sangat
ingin melihatnya. Bunga yang menurut legenda butuh waktu 3000 tahun untuk
melihatnya lagi.
Ia memandangi satu-satunya barang mewah di
tempat tinggalnya. Sebuah cermin tinggi dan lebar yang sudah retak di banyak
sisinya. Diangkatnya satu kakinya perlahan hingga lututnya mampu menyentuh
hidung, kemudian disandarkan kaki yang sudah terangkat tinggi itu ke cermin.
Ada rasa sakit yang timbul. Bukan sakit karena gerakan itu –dia sudah menguasai
gerakan itu sejak dahulu, tapi sakit yang timbul di seluruh badannya. Kertas
karton besar bertuliskan “NEED MONEY FOR FOOD” yang setiap hari ia bawa dan
bentangkan sambil mengharap belas kasihan para pejalan kaki, kini tergeletak di
dekat kakinya. Sedikit percikan darah mulai mengering di sana.
Nancy sudah sering dipukul, ditampar, bahkan
disayat tangannya oleh Mama karena hal-hal kecil yang membuat Mama marah. Mama
sangat mudah tersulut amarah akhir-akhir ini. Mungkin karena beberapa hari ini
ia pulang dengan tidak membawa banyak uang karena diam-diam sering keasikan
menonton latihan tari di gedung pertunjukkan megah itu.
Selama ini Nancy tidak pernah menangis. Tapi kali ini, sambil
melihat bayangannya di cermin, Nancy mulai menangis. Seluruh tubuhnya yang
telanjang terlihat dengan jelas di cermin itu. Luka lebam hampir di sekujur
tubuh kurusnya. Di kakinya masih ada satu sayatan merah yang belum berhenti
mengeluarkan darah. Luka itu baru saja diterimanya malam ini saat mencoba kabur
dari rumah. Saat ia mencoba pergi diam-diam untuk melihat bunga youtan
polou yang sangat langka. Luka itulah penyebab tangisnya malam ini
karena untuk pertama kalinya mama menyakiti sepasang kaki yang sangat
dicintainya. Kaki yang diharapkan akan membawanya menjadi seorang penari.
Cat: Cerpen ini menjadi kontributor di blog Kampus Fiksi angkatan 11 (www.kf-11.blogspot.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar