Cerita ini bukanlah kisah besar layaknya biografi orang sukses,
kisah ini hanya kisah kecil yang ingin saya hadirkan juga bukan untuk tujuan
besar seperti menjadikan cerita ini garis besar haluan negara atau bahkan
menjadikan kisah ini sebagai kisah inspiratif sepanjang masa. Semua cerita,
kisah, atau curhatan yang akhirnya saya tuliskan hanya punya satu tujuan kecil,
sangat kecil, yaitu sebagai “spion tengah”, tempat di mana ada waktunya saya
harus melihat ke belakang, entah itu untuk berhati-hati atau untuk merias diri.
Btw, kalimat barusan jangan
dipercaya, karena SIM A penulisnya tergolek karatan di dompet, nggak pernah dipake.
Saat menjadi seorang siswa
di bangku sekolah, saya adalah orang yang hanya sangat peduli dengan persoalan
akademis. Saya takut kalau di raport ada nilai jelek, saya (hampir) tidak
pernah bolos sekolah, saya takut tidak masuk kelas IPA, saya ikut banyak
les-les mata pelajaran, intinya yang saya takutkan hanya nilai tertulis di atas
kertas bernama raport dan ijazah. Saya tidak peduli dengan
organisasi-organisasi sekolah. Satu-satunya organisasi yang saya ikuti saat
sekolah hanya teater.
Dunia kuliah menjadi “culture shock” tersendiri buat saya. Saya yang terbiasa menghadapi guru dengan materi yang sudah jelas, tugas yang sudah jelas, nilai yang sudah jelas, tiba-tiba masuk ke dunia yang serba tidak jelas. Tidak jelas dosennya pakai buku apa untuk dibaca, tidak jelas instruksi tugasnya apa, tidak jelas materi ujiannya apa, bahkan tidak jelas dosennya masuk atau tidak. Saya yang selalu “disuapi” oleh materi yang sudah tersusun rapi kini harus berlari-lari “mencari makan” sendiri kalau mau nilai-nilai saya menyunggingkan huruf A.
Dunia kuliah menjadi “culture shock” tersendiri buat saya. Saya yang terbiasa menghadapi guru dengan materi yang sudah jelas, tugas yang sudah jelas, nilai yang sudah jelas, tiba-tiba masuk ke dunia yang serba tidak jelas. Tidak jelas dosennya pakai buku apa untuk dibaca, tidak jelas instruksi tugasnya apa, tidak jelas materi ujiannya apa, bahkan tidak jelas dosennya masuk atau tidak. Saya yang selalu “disuapi” oleh materi yang sudah tersusun rapi kini harus berlari-lari “mencari makan” sendiri kalau mau nilai-nilai saya menyunggingkan huruf A.
Dunia kerja adalah pengalaman beorganisasi berikutnya
(yang tentu lebih pelik). Saya pernah bekerja di retail farmasi modern di
awal-awal masa fresh graduate. Cukup
lama, hampir dua tahun. Keinginan untuk segera lepas secara financial dari orangtua memaksa saya
untuk menyegerakan mengakhiri status fresh
graduate menjadi karyawan. Saat itu saya tidak punya sama sekali bayangan
tentang begitu berbedanya bekerja di industri retail dengan pekerjaan sebagai
karyawan kantoran.
Hari-hari pertama saya mulai bekerja adalah hari-hari
penuh kejutan. Jabatan yang tertera di nametag
saat itu memang cukup gaya, Store Manager alias menejer toko. Intinya saya bertanggung jawab terhadap
keberlangsungan segala kegiatan operasional di toko yang menjadi tanggung jawab
saya tersebut. Tanggung jawab itu meliputi tanggung jawab terhadap uang,
barang, dan orang. Oleh karena tanggung jawab yang melekat itu, saya diberi
bawahan sekitar 10-15 orang yang banyak di antara mereka usianya rata-rata di
atas usia….saya? Bukan. Usia ibu saya.
Dilematis. Di satu sisi, ada beban tanggung jawab yang
harus dipenuhi dengan pertaruhan gaji dan posisi. Di sisi lain, ada para
mbak-mbak, dan ibu-ibu yang dari sisi usia harusnya saya hormati. Ditambah lagi
pengalaman memimpin saya hanya sebatas memimpin upacara pramuka, itupun saat saya
duduk di bangku sekolah dasar. Situasi seperti ini yang kadang tidak pernah
kita bayangkan dan persiapkan. Situasi disaat kita diberi tanggung jawab yang
besar tapi merasa kecil, situasi disaat kita ditunjuk menjadi penanggungjawab
tapi masih sering lepas tanggungjawab.
Cara orang menyikapi masalah tentu berbeda-beda, semua
tergantung dari banyak faktor dalam hidupnya. Faktor tingkat pendidikan, faktor
pengalaman hidup, faktor teman, dan lingkungan. Saya pernah mendengar sebuah
kalimat yang keluar dari seorang senior yang namanya Alhamdulillah saya lupa,
dia berkata,
” Setiap orang
suatu saat nanti pasti akan pernah ditunjuk untuk memimpin…”.
Iya, segitu saja kalimat yang saya ingat, tapi dari
kalimat pendek yang bahkan saya lupa lanjutannya itu cukup memberikan suntikan pede bahwa menjadi seorang pemimpin itu
tidak bisa dihindari, kalau tidak memimpin dalam skala besar ya pasti akan
memimpin skala kecil. Memimpin diri sendiri contohnya.
Keyakinan bahwa siap-tidak siap kita akan menjadi
pemimpin itulah yang akhirnya membantu saya bertahan bekerja di bisnis retail
farmasi tersebut selama dua tahun sebagai pimpinan sebuah lingkup kecil dari
perusahaan (ya tentu juga karena kontraknya memang dua tahun jadi mau tidak mau
saya harus bertahan ketimbang membayar pinalti dalam jumlah besar hehe..).
Di awal-awal masa kerja,
oleh atasan saya, saya selalu didoktrin untuk menjadi pribadi yang bertangan
besi dalam artian tegas, berjarak, dan mengelola toko dengan penuh
kedisiplinan. Dia menyadari betul
kelemahan saya dari segi umur yang menyebabkan saya sungkan untuk marah-marah
kalau terjadi kesalahan. Menurutnya, itu satu-satunya cara untuk membuat saya
bisa mengendalikan jalannya kegiatan operasional toko dengan staff-staff yang
sadar betul kejunioran saya. Bagi atasan saya “Kalau lo galak, bawahan bakal nurut sama lo dan artinya lo bisa push mereka biar mencapai target artinya
lagi lo dapet insentif dan perusahaan
untung gede” tapi bagi saya yang tidak berbakat galak dan lumayan paham kondisi
emosional para bawahan yang setiap hari saya temui “Kalau gw galak, bawahan bakal
ngambek, nyinyir, nggak mau dengerin omongan gw, dan akan berakhir dengan surat resign massal mereka atau gw
karena nggak betah”. Saya dan atasan saya memang berbeda menyikapi masalah ini.
Di minggu-minggu pertama, cara yang
diminta atasan saya sempat saya terapkan, tapi lama-kelamaan saya mulai lelah
menjadi orang lain. Saya tidak bisa menikmati pekerjaan saya, saya tidak
memiliki kedekatan emosional dengan teman-teman kerja saya yang hampir setiap
hari bertemu, dan jauh di dalam hati saya, sebenarnya saya meyakini kalau menjadi pemimpin/pimpinan dalam lingkup
sekecil apapun adalah soal memberi contoh. Ayah memberi contoh shalat kepada
anaknya agar anaknya shalat, kakak memberi contoh nilai baik kepada adiknya agar
adiknya rajin belajar, atasan memberi contoh datang tepat waktu di kantor agar anak buahnya sungkan
datang terlambat.
Bagi saya yang newbie dan jelas-jelas tidak mungkin
menebar pesona agar diikuti kata-katanya, maka saya lebih memilih untuk
mengembangkan kepercayaan dan loyalitas bawahan dengan cara menjadi pendengar
yang baik sekaligus memberi contoh terhadap semua pekerjaan. Saya harus datang
lebih pagi dari mereka, saya harus memiliki product
knowledge lebih baik dari mereka, saya harus menulis pembukuan lebih rapi
dari mereka, bahkan saya harus menyapu lebih bersih dari mereka. Itu memang
bukan jobdesc saya, tapi mereka harus
tahu kalau saya bisa melakukan lebih baik dari mereka dan karena itulah saya
ditunjuk untuk menjadi pimpinan, sehingga mereka bisa percaya kepada kemampuan
saya dan tidak melihat umur saya yang jauh lebih sedikit.
Empati menurut saya adalah
hal penting lainnya saat siapapun akan duduk menjadi pimpinan bagi beberapa
orang. Kita harus mengenal betul pressure
apa yang akan didapatkan oleh bawahan sehingga bisa menempatkan diri dalam posisi mereka dan
menjadi problem solver yang bijak
terhadap berbagai permasalahan. Waktu dua tahun cukup membuat saya mengenal pressure
yang akan didapatkan seorang pekerja retail. Mulai dari target yang terus
menerus dinaikkan, jam kerja yang luar biasa tidak bersahabat, libur di
saat kebanyakan orang (pekerja kantoran)
masuk dan masuk di saat orang libur, lembur yang kadang mendadak dengan
kompensasi yang kecil, bekerja dengan sistem shift yang cukup mengacaukan jam tidur, resiko kehilangan barang
yang dijual atau bahkan uang, belum lagi gaji yang tidak sesuai dengan segala
tekanan yang didapat, dan perlakuan dari customer
yang kadang tidak bersahabat. Fyiuuh…
Selain itu juga saya
mempertimbangkan semua suara mereka dan menjadikan itu rujukan penting dalam
sebuah keputusan. Ternyata cara ini cukup berhasil bagi saya untuk bisa
mengarahkan bawahan melakukan tanggung jawab yang dibebankan perusahaan kepada
kami tanpa mereka harus kesal, marah, nyinyir dan juga membuat saya tidak
kehilangan kedekatan emosional dengan teman-teman saya tersebut. Hal ini
dibuktikan dengan growth toko yang
terus naik, turn over karyawan yang
menurun, hasil stock opname yang semakin sedikit selisihnya, dan dipromosikannya
saya ke jabatan yang lebih tinggi walupun terpaksa saya tolak karena alasan
pribadi.
Akhirnya saya meyakini
bahwa setiap orang sebenarnya telah memiliki skill sendiri-sendiri untuk mempengaruhi orang lain dalam mencapai
sebuah tujuan. Bukankah itu tujuan dari manajemen (yang dilakukan oleh seorang
manajer) ? Proses panjang menemui cara menjadi seorang manajer yang baik (baik
disini adalah membuat saya nyaman sekaligus tujuan dan tanggung jawab yang
dibebankan kepada saya bisa tercapai) dan lagi-lagi itu semua berbeda bagi
setiap orangnya. Mungkin ada yang nyaman dengan cara kepemimpinan otokratis
dimana semua keputusan ada di tangan pemimpin/pimpinan, atau ada juga yang
memang sudah dari sananya mempunyai aura pemimpin sehingga kata-katanya pasti
diikuti karena kharisma yang dia miliki.
Dari semua ngalor-ngidul di atas, saya hanya ingin
memberikan sebuah testimony bahwa
menjadi bagian dari sebuah organisasi apapun itu, bisa membantu kita membangun
karakter kepemimpinan dalam diri. Tidak hanya untuk memimpin orang lain, tapi
untuk memimpin kita sendiri. Memimpin kita untuk disiplin, memimpin kita
mengambil tindakan-tindakan yang bijaksana, memimpin kita menemukan passion sehingga dapat maksimal dalam
berkarya, dan memimpin kita meraih pencapaian-pencapain terbaik dalam hidup
tanpa perlu menjadi seorang pimpinan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar