Sekitar
dua tahun yang lalu,saat saya dan suami sedang berjuang mencari tempat
tinggal yg baik dan sesuai budget di Jakarta,hampir setiap hari saya membuka situs-situs properti untuk searching rumah yang sesuai harapan.Hampir
setiap weekend juga saya dan suami mendatangi alamat-alamat rumah yang diiklankan tersebut
untuk sekedar viewing.Sulit ternyata mencari tempat tinggal tetap dibanding mencari kontrakan. Mungkin karena ikatannya lebih kuat dibanding kontrakan yang bisa setiap waktu ditinggalkan tanpa kerugian yang terlalu besar apabila ada yang kurang berkenan.
Sedari awal pilihan saya dan suami
memang mencari rumah di daerah Jagakarsa, Jakarta Selatan.Alasannya adalah selain karena
tanah di daerah itu masih lumayan terjangkau harganya,lingkungan di sana pun berbeda
dengan suasana kota Jakarta.Masih terasa suasana "daerah" nya menurut
kami. Karena hal itu, jadilah setiap weekend kami menempuh perjalanan Kalibata-Jagakarsa
yang lumayan jauh dan saya dalam keadaan hamil saat itu.Tapi itu menyenangkan. Merencanakan masa depan bagi seorang wanita memang selalu menyenangkan kan? Tak peduli seletih apapun fisik terasa.
Dalam pencarian itu, banyak
rumah yang sudah kami datangi,mulai dari rumah di perumahan,rumah cluster
yang dibangun sesuai pesanan,rumah tua,rumah baru,rumah dijual
cepat,rumah beserta ruko,rumah di gang sempit,rumah yang
strategis,rumah girik,rumah dan isinya,rumah rusak yg harus dirombak
total,rumah tetangga Gus Dur,rumah tetangga Asmiranda,rumah
spooky,rumah pinggir sawah,rumah tanjakan curam,rumah jauh dari
peradaban, dan masih banyak lagi jenis-jenis rumah yang sudah kami datangi. Dari
sekian banyak rumah yag kami pernah datangi,ada satu rumah yag sampai saat
ini masih meninggalkan kesan mendalam.Rumah yg memberi pelajaran kepada
saya dan suami tentang arti pilihan yang sebenarnya.
Rumah itu bernuansa
hijau.Luasnya sedang saja tidak sampai 200meter persegi.Tapi pertama kali
kami melihatnya, kami langsung jatuh cinta.Jatuh cinta dengan nuansa
hijau yang didapat dari pagar rumah, keramik teras,dan tanaman hias
di depan rumah.Jatuh cinta dengan kehangatan rumah yang mungkin didapat
dari kehangatan pemiliknya yaitu Pak Haji dan Bu Haji.Pak Haji yg
sangat ramah, Bu Haji yang sangat apa adanya dan blak-blakan.Jatuh cinta
pada suara adzan dan lantunan ayat Al-Quran yang pasti terdengar jelas
setiap hari karena letak rumah yang persis di depan masjid. Dan sayangnya
jatuh cinta pada rumah yang harganya lumayan jauh di atas budget kami.
Tapi mungkin itulah cinta buta.Walau alasan kami jatuh cinta sangat mulia,tapi kami kurang berpikir.Tidak menakar, dan sedikit memaksakan.Layaknya manusia yang jatuh cinta pada pandangan pertama,kami
juga begitu.Jatuh cinta pada rumah itu,pertemuan pertama langsung
mengambil keputusan untuk men-DP.Luar biasa.Kenapa?Karena selama
beberapa waktu ini kami sulit sekali mengambil keputusan.Namun setelah melihat rumah itu.Ting! Mendadak kami cepat mengambil keputusan.Batasan
kami langgar.Batasan kemampuan.Padahal kami sadar ada prioritas lain yang
harus kami tunda demi memaksakan kenginan kami memiliki rumah ini.
Namun di perjalanan pulang,kami berdua sama-sama terdiam.Merasa ada yang salah dan tidak pada tempatnya.Begitu cepat keyakinan dan semangat menggebu itu berubah jadi suatu keragu-raguan.Mendadak saya ingat akan sebuah quote yang saya sempat tulis di facebook beberapa tahun yg lalu.
"Saat kita merasa yakin akan suatu pilihan, ternyata tanpa kita sadari pilihan itu hanyalah sebuah jalan menuju pilihan yang lain. Begitu seterusnya sampai akhirnya kita berpikir kalau takdir adalah hasil dari banyak pilihan yang telah kita buat dalam hidup".
Jadi apa saat itu kami benar-benar yakin akan pilihan kami
atau hanya sorak asa semata yang kadang buta akan keadaan.Seperti
layaknya asa akan cinta? Sayang, kami tidak tahu bedanya.Tapi jika saat
itu kami memang benar yakin,lalu kenapa harus ada sunyi ini?Saling diam
tak berbicara karena masing-masing sibuk merenung ulang.Apa keyakinan
butuh perenungan ulang?Mungkin harusnya tidak.Apa keputusan yang dibuat
dengan penuh keyakinan akan menimbulkan pertanyaan retoris seperti "Apakah ini keputusan yg benar?".Harusnya tidak menurut saya.
Menjelang tidur, kami pun
berbicara tentang ini. Pillow talk.Mengeluarkan hasil perenungan di
perjalanan pulang tadi.Hasilnya,kami tidak yakin.Kami terlalu memaksakan.Dengan
penuh keikhlasan kami batalkan pilihan kami.Uang DP memang tidak kembali
full.Tapi kabar baiknya ternyata hati kami menjadi lebih tenang.Tidak terbebani apapun lagi.Masih
banyak waktu untuk mencari lagi yang lebih sesuai bagi kami. Saat itu saya menyadari, ternyata
saat kita merasa yakin benar akan sebuah pilihan,bukan berarti kita tidak bisa berubah pikiran. Kerjanya hati itu misteri. Alloh lah Sang Pemilik Hati,Alloh lah Sang Pembolak-balik hati.Benci bisa menjadi cinta.Yakin bisa menjadi
ragu.Namun semoga iman, istiqamah di jalan-Nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar