Senin, 21 September 2020

Day 3 : A Memory #30DaysWritingChallenge

Source:shorturl.at/xJKTY

Mengetik "a memory" berarti memutar semua kenangan-kenangan paling kuat yang berlomba-lomba untuk eksis di blog ini. HAHAHA… Tapi kemudian saya memilih satu kenangan. Bukan yang paling menyenangkan, bukan yang paling menyedihkan, bukan pula yang paling kuat dalam ingatan. Tapi kenangan inilah yang mungkin akan terus saya rekam sebagai salah satu ingatan paling hangat dalam hidup saya.

Saat itu tahun 2010 atau 2011. Disclaimer: Saya memang selalu bermasalah mengenai ingatan tentang tahun. Misalnya saya selalu lupa tahun pernikahan saya atau tahun kelahiran Zahir dan Inaranti. Semacam itulah. Pokoknya waktu itu malam hari di penginapan Jalan Riau. Tempat Mama dan Papa saya bermalam karena ada acara di Bandung. 

Saat itu saya sudah bekerja di Jakarta. Sudah memiliki niat untuk menikah dengan Om Taurus tapi niat itu belum saya sampaikan kepada Mama dan Papa. Tidak, saya tidak ragu-ragu tapi saya takut kalau Mama dan Papa merasa ini terlalu cepat. Saya juga takut kalau masih ada hal lain yang mereka ingin saya capai sebelum memilih menikah. Mendapat pekerjaan yang lebih baik misalnya, mencoba tes CPNS, atau sekolah lagi. Keinginan-keinginan yang saya pikir adalah keinginan orangtua saya saat itu. Saya juga dilanda perasaan sedih karena saya baru bekerja sebentar lalu memutuskan untuk menikah. Dalam pikiran saya saat itu, belum banyak yang bisa saya berikan untuk Mama dan Papa. Iya, dulu tujuan saya bekerja, selain melepaskan diri dari bantuan finansial yang selama ini ditopang oleh orangtua, juga untuk membahagiakan mereka dengan memberi hal-hal yang saya pikir, mereka inginkan. Membelikan mereka barang-barang bagus, mengajak mereka jalan-jalan, dan hal-hal lain yang saya ukur dengan uang.

Sebenarnya malam itu, tidak ada rencana untuk memberitahu Mama dan Papa tentang niat saya dan Om Taurus untuk segera menikah. Tapi kebiasaan saya dan Papa ngobrol berdua dari hati ke hati, mau tidak mau memancing saya untuk bercerita soal niat tersebut. Saya ceritakan semua kebimbangan, kegelisahan, dan rasa takut saya. Saya juga ceritakan bahwa dengan adanya niat itu, saya dan Om Taurus ingin fokus menabung untuk biaya pernikahan kami agar tidak banyak merepotkan yang artinya saya mungkin tidak bisa lagi menabung untuk kuliah di UI yang sempat saya rencanakan. 

Saya menangis untuk pertama kalinya di depan Papa (menangis waktu kecil tidak dihitung). Tidak, saya bukan menangis untuk mimpi-mimpi yang harus saya kesampingkan. Saya percaya bahwa pilihan hidup adalah kumpulan hal-hal yang selalu berusaha menarik perhatian. Bila tidak ada prioritas, maka kita akan terus kebingungan memilih dan memilih lagi.  Saat itu, yang saya tangisi adalah niat saya yang saya pikir egois. Saya menangisi pekerjaan saya yang saat itu belum bisa memberi kontribusi banyak untuk keluarga. Saya menangisi hal-hal lain yang saya pikir adalah keinginan Mama Papa namun belum bisa saya capai. Papa hanya terdiam melihat anak sulungnya yang suka sok tegar sesenggukan. Mama keluar kamar, ikut menangis melihat saya yang terlihat begitu tertekan. Satu kalimat Papa yang sampai saat ini saya terus ingat adalah, 
"Nggi, kalau hanya ingin membahagiakan Mama Papa, kamu menikah itu juga membahagiakan kami." 
Saya kembali menangis kencang.

Dulu, saya pikir kalimat itu hanyalah kalimat penghiburan orangtua terhadap anaknya. Kalimat itu berhasil menenangkan dan mengangkat semua beban yang saya rasa tentang memilih pernikahan. Tapi kini, saat saya berada di posisi sebagai orangtua, saya akhirnya sadar kalau saat itu, saya berpikir dari posisi saya sebagai anak. Saya pikir saya tahu apa yang orangtua mau. Saya pikir, hal-hal yang saya lakukan adalah hal-hal yang paling mereka inginkan. Saya pikir, jika saya tidak memenuhi hal-hal yang ideal, mereka tidak akan bahagia.  Saya pikir, jalan bahagia mereka hanya lewat satu cara. Ternyata begitu kecilnya saya menghitung rasa sayang mereka. 

Padahal bagi orangtua, "Bahagia itu apa jika anak-anaknya tidak? Sebaliknya, kebahagiaan anak, terlepas dari apa pun pilihannya, adalah prioritas utama." Sesederhana itu saja.

 

14 komentar:

  1. kok saya jd sedih ngebacanya :)
    dan seetekah jd orangtuam baru ngerti beneran ya sejatinya bahagia untuk anak2 itu apa hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. etapi urusan lupa tanggal pernikahan itu pegimane ceritanyaaa hahaha

      Hapus
    2. @Lulu
      lha emang iya gmana jeeee

      Hapus
    3. Iya, aku bermasalah sekali soal mengingat tahun memang hahaha...dan iya benaeer, setelah jadi orangtua baru sadar kalau kita kadang terlalu keras dengan diri sendiri mau mencapai itu ini.

      Hapus
  2. Mbanggi ni emang paling bisa.... Bikin senep!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

      Hapus
    2. Maafkan daku. Day 3 ini emang edisi curcol.


      *Lah kemaren-kemaren emang ngapain aja, Mbyaak?*

      Hapus
  3. Huhu Tanyen...jadi inget orang tuaa

    BalasHapus
  4. sediiih, sekaligus hangat... belum pernah ngerasain posisi iniii

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iyaa, nanti insha Allah bakal ngerasain kalau orangtua gak butuh banyak2 kok. Asal anaknya bahagia, udah cukup.

      Hapus
  5. Semoga sehat2 terus mama papanya, Tan Gi... :') rezeki banget ya, Tan, punya Mama Papa berjiwa besar seperti mereka :')

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aamiin, semoga Mama Papanya Tansis juga sehat selalu yaaa. Orangtua gimanapun pasti pengennya anak bahagia aja udah cukup. Kitanya aja yg suka overthinking (T_T)

      Hapus