Source:shorturl.at/xJKTY
Mengetik "a memory"
berarti memutar semua kenangan-kenangan paling kuat yang berlomba-lomba untuk
eksis di blog ini. HAHAHA… Tapi kemudian saya memilih satu kenangan. Bukan yang
paling menyenangkan, bukan yang paling menyedihkan, bukan pula yang paling kuat
dalam ingatan. Tapi kenangan inilah yang mungkin akan terus saya rekam sebagai
salah satu ingatan paling hangat dalam hidup saya.
Saat itu tahun 2010 atau 2011. Disclaimer: Saya memang selalu
bermasalah mengenai ingatan tentang tahun. Misalnya saya selalu lupa tahun
pernikahan saya atau tahun kelahiran Zahir dan Inaranti. Semacam itulah. Pokoknya
waktu itu malam hari di penginapan Jalan Riau. Tempat Mama dan Papa saya
bermalam karena ada acara di Bandung.
Saat itu saya sudah bekerja di Jakarta.
Sudah memiliki niat untuk menikah dengan Om Taurus tapi niat itu belum saya
sampaikan kepada Mama dan Papa. Tidak, saya tidak ragu-ragu tapi saya takut
kalau Mama dan Papa merasa ini terlalu cepat. Saya juga takut kalau masih ada
hal lain yang mereka ingin saya capai sebelum memilih menikah. Mendapat pekerjaan yang
lebih baik misalnya, mencoba tes CPNS, atau sekolah lagi. Keinginan-keinginan
yang saya pikir adalah keinginan
orangtua saya saat itu. Saya juga dilanda perasaan sedih karena saya baru
bekerja sebentar lalu memutuskan untuk menikah. Dalam pikiran saya saat itu, belum banyak yang bisa saya berikan
untuk Mama dan Papa. Iya, dulu tujuan saya bekerja, selain melepaskan diri dari
bantuan finansial yang selama ini ditopang oleh orangtua, juga untuk
membahagiakan mereka dengan memberi hal-hal yang saya pikir, mereka inginkan. Membelikan mereka barang-barang bagus,
mengajak mereka jalan-jalan, dan hal-hal lain yang saya ukur dengan uang.
Sebenarnya malam itu, tidak ada rencana untuk memberitahu Mama dan Papa tentang niat saya dan Om Taurus untuk segera menikah. Tapi kebiasaan saya dan
Papa ngobrol berdua dari hati ke
hati, mau tidak mau memancing saya untuk bercerita soal niat tersebut. Saya
ceritakan semua kebimbangan, kegelisahan, dan rasa takut saya. Saya juga
ceritakan bahwa dengan adanya niat itu, saya dan Om Taurus ingin fokus menabung
untuk biaya pernikahan kami agar tidak banyak merepotkan yang artinya saya mungkin
tidak bisa lagi menabung untuk kuliah di UI yang sempat saya rencanakan.
Saya
menangis untuk pertama kalinya di depan Papa (menangis waktu kecil tidak
dihitung). Tidak, saya bukan menangis untuk mimpi-mimpi yang harus saya
kesampingkan. Saya percaya bahwa pilihan hidup adalah kumpulan hal-hal yang
selalu berusaha menarik perhatian. Bila tidak ada prioritas, maka kita akan
terus kebingungan memilih dan memilih lagi. Saat itu, yang saya tangisi adalah niat saya
yang saya pikir egois. Saya menangisi
pekerjaan saya yang saat itu belum bisa memberi kontribusi banyak untuk keluarga.
Saya menangisi hal-hal lain yang saya
pikir adalah keinginan Mama Papa namun belum bisa saya capai. Papa hanya
terdiam melihat anak sulungnya yang suka sok tegar sesenggukan. Mama keluar
kamar, ikut menangis melihat saya yang terlihat begitu tertekan. Satu kalimat
Papa yang sampai saat ini saya terus ingat adalah,
"Nggi, kalau hanya ingin membahagiakan Mama Papa, kamu menikah itu juga membahagiakan kami."
Saya kembali menangis kencang.
Dulu, saya pikir kalimat itu hanyalah kalimat penghiburan
orangtua terhadap anaknya. Kalimat itu berhasil menenangkan dan mengangkat
semua beban yang saya rasa tentang memilih pernikahan. Tapi kini, saat saya
berada di posisi sebagai orangtua, saya akhirnya sadar kalau saat itu, saya
berpikir dari posisi saya sebagai anak. Saya pikir saya tahu apa yang orangtua
mau. Saya pikir, hal-hal yang saya lakukan adalah hal-hal yang paling mereka
inginkan. Saya pikir, jika saya tidak memenuhi hal-hal yang ideal, mereka tidak
akan bahagia. Saya pikir, jalan bahagia mereka hanya lewat satu cara. Ternyata begitu kecilnya saya menghitung rasa sayang mereka.
Padahal bagi orangtua, "Bahagia itu apa jika anak-anaknya tidak? Sebaliknya, kebahagiaan anak, terlepas dari apa pun pilihannya, adalah prioritas utama." Sesederhana itu saja.
kok saya jd sedih ngebacanya :)
BalasHapusdan seetekah jd orangtuam baru ngerti beneran ya sejatinya bahagia untuk anak2 itu apa hehe
etapi urusan lupa tanggal pernikahan itu pegimane ceritanyaaa hahaha
HapusSemua-semua dikomen sedih :")
Hapus@Lulu
Hapuslha emang iya gmana jeeee
Iya, aku bermasalah sekali soal mengingat tahun memang hahaha...dan iya benaeer, setelah jadi orangtua baru sadar kalau kita kadang terlalu keras dengan diri sendiri mau mencapai itu ini.
HapusMbanggi ni emang paling bisa.... Bikin senep!
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
HapusMaafkan daku. Day 3 ini emang edisi curcol.
Hapus*Lah kemaren-kemaren emang ngapain aja, Mbyaak?*
Huhu Tanyen...jadi inget orang tuaa
BalasHapusIya, Muf. Aku pun jadi ingin sungkeman 😔
Hapussediiih, sekaligus hangat... belum pernah ngerasain posisi iniii
BalasHapusIyaa, nanti insha Allah bakal ngerasain kalau orangtua gak butuh banyak2 kok. Asal anaknya bahagia, udah cukup.
HapusSemoga sehat2 terus mama papanya, Tan Gi... :') rezeki banget ya, Tan, punya Mama Papa berjiwa besar seperti mereka :')
BalasHapusAamiin, semoga Mama Papanya Tansis juga sehat selalu yaaa. Orangtua gimanapun pasti pengennya anak bahagia aja udah cukup. Kitanya aja yg suka overthinking (T_T)
Hapus