Minggu, 27 September 2020

Day 6 : Single and Happy #30DaysWritingChallenge




Source : https://bit.ly/33YB8jc


Dari kemarin saya bingung mau menulis apa untuk tema hari ini. Ingin menulis soal masa-masa single yang sudah ratusan tahun lalu sepertinya bakal jadi super cheesy ya. Apa yang dahulu saya anggap sweet, menggemaskan, unyu-unyu, belum tentu seperti itu jika saya ceritakan kembali sekarang. Di saat-saat bingung mau menulis apa, saya berseluncurlah ke blognya Tansis yang sudah menulis tentang tema ini dan saya kemudian mendapat pencerahan.

Single and Happy. Kenapa kedua kata itu harus sering-sering bepasangan? Tidak hanya di tema ini sih, di beberapa judul dan lirik lagu, di banyak judul artikel, di judul konten youtube, bahkan menjadi judul buku. Padahal, mereka bukan pasangan kata yang tidak bisa hidup tanpa satu sama lainnya seperti pontang membutuhkan panting, kocar membutuhkan kacir, dan kasak membutuhkan kusuk. Single ya single. Bukan berarti tidak bisa happy, bukan berarti akan jadi sad boy jugak. Happy ya happy. Soal rasa yang katanya Payung Teduh bisa kita cipta. 

Tapi beneran deh, lirik lagunya Payung Teduh yang Di Atas Meja itu bagus sekali. Suatu kesedihan yang dimaknai dengan bijaksana. Maaf terdistrak sebentar...

Di atas meja rindu itu hilang
Dalam kata-kata
Sebentar lagi kita saling lupa

Kita menjelma pagi dingin
Yang dipayungi kabut
Tak bisa lagi bercerita apa adanya

Mengapa takut pada lara
Sementara semua rasa bisa kita cipta?
Akan selalu ada tenang di sela-sela gelisah
Yang menunggu reda

Nah, balik ke single and happy lagi. Bagi saya, kedua kata itu, bisa memilih jalannya masing-masing tanpa saling mengganggu. Justru saat kedua kata itu muncul bersama dan terkesan diglorifikasi, malah akan mengecilkan maknanya. Seolah-olah single dan happy sangatlah istimewa. Seolah-olah kalau single saja tidak bisa happy atau kalau tidak single berarti tidak bisa happy. Padahal single dan tidak single berhak atas rasa happy. Begitu pun saat kita sedih itu tidak melulu karena kita sedang tidak single. Duh, mulai bingung dengan kalimat sendiri wkwkwk

Mungkin maksud awalnya terjadi perjodohan dua kata ini baik,  untuk memotivasi teman-teman single di luar sana bahwa single juga bisa happy. Tapi kan, hidup memang harusnya begitu. Ibu 3 anak dan happy, married and happy, makan es krim dan happy, ketemu gebetan dan happy, masuk sekolah favorit dan happy, menang judi dan happy (judi banget contohnya, Sis!), jualan laku dan happy, masak telur mata sapi yang sempurna dan happy, bekal makanan diabisin suami dan happy. Jadi happy adalah perasaan yang bisa kita cipta sendiri lewat hal-hal kecil tanpa harus terpengaruh dengan status single atau tidak. Begitu pun sebaliknya, saat tidak happy jangan buru-buru ambil keputusan untuk menjadi single agar happy. Tidak ada jaminannya....

Etapi jangan-jangan yang dimaksud dengan single di sini adalah jenis rilisan yang berisi satu lagu, ya? Kalau itu sih baru pas. Single and Happy. Bikin single lagu lalu happy.  #makingakjelas

Tapi sekali lagi, ini hanya tafsir. Kalau kata Uda Ivan Lanin, sesungguhnya semua kata itu netral, tafsir manusialah yang membuatnya memihak. 

Catatan : Tulisan ini seharusnya diposting kemarin malam, tapi karena sesuatu dan lain hal, mood untuk posting menghilang. 


7 komentar:

  1. iya ih, ini tema tergaje yang nggak tau harus menjelaskan apa. hhh

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yekaaan, untung aku mendapat pencerahan setelah bertamu ke blog Tansis 😆

      Hapus
  2. tulisan ini serius sekali euy
    selain itu, saya ga seneng dg Ivan Lanin, tp nyatanya beliau malah friend pertama saya di sosmed #Lah hahaha

    BalasHapus
    Balasan
    1. tes komen pake emot ah, mau ndak 😶

      Hapus
    2. Masa sih serius? Wkwk...nggak deh kayaknya. Aku netral sih ke Ivan Lanin. Soalnya banyak yg bermanfaat yg dia share wkwkw...

      Hapus
  3. Judiii. Kenapa lah harus judi. Aku jadi auto niruin Rhoma Irama, kan.

    BalasHapus