Jumat, 25 September 2020

Day 5 : My Parents #30DaysWritingChallenge

Source:https://everydaypower.com/parents-quotes-and-sayings/


 "Ini Ibu Budi."

"Ini Bapak Budi."

Familiar ya dengan kalimat di atas? Tansis pastinya paham, sih. Karena kalau nggak salah dia seangkatan dengan Ibu Rahmani Rauf, penemu alat peraga metode baca "Ini Budi" yang dulu dianggap cara paling mudah untuk belajar membaca. Metode belajar baca ini disebut sebagai Struktur Analitik Sintesis (SAS). Struktur menampilkan keseluruhan dan memperkenalkan kalimat yang utuh, analitik melakukan proses penguraian, sintetis melakukan penggabungan kembali kepada bentuk struktural semula. Proses penguraian dan penganalisisan dalam pembelajaran membaca,  menulis permulaan dengan metode SAS, yaitu kalimat menjadi kata, kata menjadi suku-suku kata, suku kata menjadi huruf-huruf.

Jadi apa hubungannya dengan judul tema di atas? Nggak ada. Ini gara-gara Galih yang sekarang rajin menyimak blog ini dengan alasan agar terinpirasi. Jadi, saya terbebani untuk menghadirkan tulisan yang bukan recehan. Berhasil? Ya tidak. Receh is my middle name.

Berhubung saya bukan Budi maka Mama dan Papa saya bukanlah Ibu dan Bapaknya Budi. Tapi kita sebut saja beliau, Mama dan Papanya Anggi. Orang-orang sederhana bukan old money yang bisa bikin saya nggak mikirin mau jadi apa nanti, atau menghabiskan waktu dengan makan ice cream hanya karena nggak tahu mau ngapain untuk mengisi waktu luang.

Mama Papa juga orang-orang hebat yang tangguh dalam membesarkan ketiga anak perempuannya yang berbeda-beda karakter. Yang satu lembut (iya saya), yang satu keras (adik saya), yang satu lembut sekali (adik saya satunya) hingga kami bisa memiliki motivasi internal untuk tumbuh besar menjadi anak-anak pintar, penyayang, soleha, dan baik hatinya. Iya, itu adik-adik saya.

Saya pernah posting sebelumnya kalau Papa dan Mama adalah orang yang terus mendorong saya untuk memberikan standar tinggi bagi adik-adik dalam hal prestasi. Sekolah di sekolah favorit, mendapatkan NEM tertinggi (waktu belum kenal pacar-pacaran dan pelajaran Fisika), masuk universitas negeri, merantau untuk bisa melihat dunia agar menyadari bahwa diri kecil dan bukan pusat semesta, menjadi perempuan mandiri dengan bekerja di kota lain, mencari calon suami dengan 'nurut' pada kriteria orangtua (no offense, ini pilihan), tidak berhenti untuk mendapatkan pekerjaan yang baik, terutama tidak berhenti untuk terus mengembangkan potensi diri karena kata mereka (secara tidak tersurat), semangat untuk terus mengaktualisasikan diri adalah hal yang penting bagi seorang perempuan.

Mereka tidak sempurna. Tidak ada orangtua yang sempurna. Kesadaran yang saya peroleh di tengah-tengah penulisan buku-buku parenting. Tapi begitu pun ilmu parenting, tidak ada yang benar-benar sempurna. Yang ada hanyalah cocok atau tidaknya. Waktu kecil saya tidak terlalu dekat dengan Papa, percakapan-percakapan kami hanyalah seadanya. Saya nyaris tidak punya kenangan masa kecil dengan Papa karena beliau juga bekerja di luar kota sehingga waktu bersama anak-anaknya sangatlah singkat. Kenangan masa kecil saya didominasi Ombai (nenek), Akas (kakek), Bik Na (tante), dan Mama. Tapi saat tumbuh dewasa, justru Papalah yang banyak membentuk karakter saya. Dihadapkannya saya dengan masalah-masalah orang dewasa, diberinya saya kebebasan untuk bersuara, memberikan pertimbangan, mendengarkan keluh kesahnya. Papa menunjukkan kepada saya bahwa lelaki juga bisa sama lemahnya dan bahwa perempuan juga bisa sama kuatnya. Saat hari ini melihat Zahir sangat dekat dengan Papanya, saya berharap itu bisa menjadi kenangan masa kecil yang indah untuknya. 

Mama tidak banyak bicara, tapi saya ingat bahwa semua kecerdasan yang saya miliki waktu kecil adalah hasil gemblengannya yang seorang guru di sekolah dasar tempat saya bersekolah. Menulis dengan rapi, membaca sebelum masuk TK, percaya diri menjadi MC di mana-mana, bahkan ikut lomba menyanyi dengan suara pas-pasan, pandai bercerita, dan NEM tertinggi saat SD plus tertinggi nomor 4 se-Prov Lampung (terus aja gue banggain 😂). Tapi Mama juga tidak sempurna. Waktunya sebagai guru membutuhkan energi yang banyak, kebutuhan ekonomi juga lumayan menyita perhatiannya karena kesejahteraan guru kala itu belumlah diperhatikan seperti sekarang.

Gaji Papa yang pi in is juga masih pas-pasan belum lagi mungkin ada cicilan yang lain-lain sehingga saya pun pernah merasakan berjalan kaki ke warung-warung untuk menitipkan es balon bikinan Mama. Rasa teh manis dan kacang hijau biasanya. Jadi, saat itu saya sangat memaklumi kalau Mama menjadi sosok yang kurang mendengarkan. Banyak hal-hal yang ingin saya ceritakan tapi kemudian saya tahan karena menyadari Mama sedang disibukkan dengan berjuang. Untuk dirinya sendiri, untuk keluarga, untuk hari-hari sangat berat yang tidak sempat kami, anak-anaknya hadapi karena perjuangan Mama dan Papa. Kini, demi kenangan masa kecil yang semoga bisa lebih baik untuk Zahir dan Inara, kapan pun Zahir bercerita, mengajak bicara, walaupun saya tidak mengerti terutama jika ia bicara tentang minecraft *nangys*, saya akan berusaha mendengarkan dan hadir walaupun kadang pikiran saya ke mana-mana juga.

Menjadi orangtua dari tiga anak perempuan bagi mereka tentu tidak mudah. Begitu juga menjadi orangtua dari 3 anak laki-laki. Menjadi orangtua dari 2 orang anak perempuan dan 1 anak laki-laki. Menjadi orangtua dari 4 anak laki-laki dan 3 anak perempuan. Menjadi orangtua dari 1 anak laki-laki dan 1 anak perempuan. Menjadi orangtua dari 9 anak perempuan dan 17 anak laki-laki. Menjadi orangtua dari....Terus, Nggi, teruus1!1! Intinya menjadi orangtua pasti tidak mudah, begitu pun calon orangtua. Jadi, saya sangat bangga dengan Mama dan Papa. Semoga mereka juga bangga dengan anaknya yang hobi ngerepotin ini. 😆

Nb :Ditulis dari tadi pagi, dilanjutkan sore hari, diposting malam ini karena lagi-lagi Piah sudah 'manas-manasin." 

8 komentar:

  1. Aku baru baca atasnya, lalu berhenti sejenak karena takut klo ini bacaan mengharukan, ngahaha.

    Aku skip topik ini, dituker sama hari ketujuh aja kayaknya. Nanti klo udah siap, baru aku kembali lagi baca tulisan ini selengkapnya ��

    BalasHapus
    Balasan
    1. Padahal gak mengharukan, Tan kayaknya 😆 . Meluncur ke tempatmuuuu

      Hapus
  2. wah tangi kecilnya keren banget. nem tertinggi di lampung bookkkk!!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nomor 4, Piah klo di Lampung. Pengennya sih yang tertinggi biar nyombongnya enak #eh (≧∇≦)/

      Hapus
  3. ada sedikit aroma kesombongan di postingan ini ternyata hahahaha tapi ya menurutku bukan sombong jg jikalau nyatanya emang keren gitu

    dan kebayang bentukan orangtuamu jd seorang Anggi yg sekilas terliat lucu padahal .. weh menakjubkan hehehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yah, kok sedikit? Aku udah nyombong banget lho itu padahal ╮(╯_╰)╭

      Hapus
  4. Sebagai orang yang gampang nangis, aku menahan-nahan untuk ga nangis baca postingan ini. Walaupun aku tau tan gi mungkin menulisnya nggak dengan tujuan bikin orang-orang nangis. Tapi gimana ya, begitulah pokoknya. Aku pada akhirnya mau ngomenin yang receh-receh aja, seperti misalnya... Bu Rahmani Rauf itu yang tempat pensilnya gambar kura-kura ninja bukan sih? Kalau iya, kayaknya aku masih inget tan. Teman baik aku dulu itu. *sekalian aja ngaku-ngaku wkwkwk

    Ngomong-ngomong, kok mamah kita sama, Tan. Dulu Ibuku juga jual es kacang ijo sama rasa es teh manis lho. Tapi namanya bukan es balon. Ga tau es apaan, pokoknya plastiknya lurus panjang. #dibahas

    Terus aku sekarang bisa paham kenapa tan gi begitu fasih bercerita, gilak sudah jago Ngemsi sejak balita kamu teh, tan. Sungguh aku bangga mengenalmu taaan.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Lho, lho, Bu Rahmani Rauf itu yang kotak pensilnya gambar bunga sedap malam, Tan. Kalau yang kura-kura ninja itu kotak pensilnya Wage Rudolf Supratman. Inget dia kan? *ternyata aku sekelas*

      Soal es, apalah artinya sebuah nama ya, Tan yang penting rasanya aku yakin sama. Kecuali mungkin teh manis kamu udah yang celup bukan yang tubruk. #tetepdibahas

      Iya, Tan. Sejak balita. Jadi kalau kamu liat bayi-bayi lain itu lomba merangkak, nah aku MC-nya, Tan. 😎

      Hapus