Selasa, 26 Maret 2019

Inaranti Saira Harnadi

gambar dari sini

Sekitar setahun yang lalu, Om Taurus pernah bilang kalau di usia 35 tahun kami belum dikaruniai anak lagi, maka sepertinya kami harus mempertimbangkan untuk memiliki Zahir saja. Pernyataan ini terkait dengan rencana-rencana kami ke depan. Tapi tetap saja, ada ketakutan dalam diri saya karena saat itu saya lagi pengen-pengennya menimang bayi lagi. Bukan sekadar pengen tapi rindu. Rindu yang akhirnya saya ulang-ulang terus dalam doa. Tanggal 6 Juni 2018, doa saya dijawab dengan garis dua di testpack. Malamnya saya cek ke dokter kandungan di RS Anugerah Medika (dr. Zulkarnaen yang dulu juga membantu persalinan Zahir) dan baru terlihat kantung rahim saja. Kalau dari HPHT, usia kandungan baru sekitar 5 minggu dan diminta datang lagi 2 minggu kemudian.

25 Juni 2018
Saya datang kembali untuk periksa dan hasilnya, janin sudah terlihat. Usia kandungan 7 minggu. Alhamdulillah. Akan dimulai hari-hari mempersiapkan tubuh menjadi tempat yang paling nyaman untuk calon adiknya Zahir. 

Semasa Kehamilan
Kehamilan kali ini berbeda. Saat mengandung Zahir, saya gagah perkasa. Tiap hari naik turun kopaja, malam dibonceng motor oleh Om Taurus dari kantor di Radio Dalam sampai rumah di Kalibata, berteman debu tebal dan asap kendaraan, kadang-kadang saja naik taksi kalau lagi manja dan banyak uang haha...Jakarta kerad, maka gebuklah. Plesetan bukunya Prie GS. Tapi memang benar, entah karena kami (saya dan Om Taurus) hanya hidup berdua di Jakarta, maka kami harus tough out, hasilnya selama 8 bulan mengandung Zahir di Jakarta, hampir tidak ada keluhan sama sekali. Mual pun sangat jarang (hanya kalau berpapasan dengan asap bajaj) apalagi muntah. 

Jadi saat hamil Inaranti dan mengalami morning sickness, saya cukup kaget. Mual sepanjang waktu dan muntah di pagi hari itu nyata. Musuh saya kali ini adalah rutinitas sikat gigi di pagi hari yang sayangnya tidak bisa diskip itu. Untungnya perbedaannya hanya sebatas itu. Selebihnya semua tetap sama dan baik-baik saja. Saya bahkan bisa ikut diklat di Bogor selama 17 hari full jauh dari Zahir dan Om Taurus, masih ikut perjalanan dinas beberapa kali, jadi panitia penerimaan CPNS yang membuat saya harus naik turun lantai 3 SMA Yadika Pringsewu selama 2 minggu tanpa libur, dan jalan-jalan singkat ke Bogor bareng Zahir dan Om Taurus. Intinya tidak ada kegiatan yang jadi terhalang karena kehamilan ini kecuali apel pagi 🤣🤣🤣 #yaitusihemangmales

Selama kehamilan juga saya jadi rutin datang ke dokter Budi. Dokter kandungan di Pringsewu yang tempat prakteknya hanya 5 menit dari kantor. Yang rutin menemani saya ke sana adalah Reni. Teman kantor yang sama penasarannya dengan saya kalau sudah menyangkut mau-lihat-wajah-bayi di USG 4D. Dokternya baik, ramah, dan penjelasannya sangat detail. Apa-apa yang tidak sempat saya tanyakan ke dr. Zul pasti saya tanyakan ke dr. Budi. Dia juga yang mengobati saat saya terkena diare saat kehamilan. Saya agak trauma dengan diare saat kehamilan karena saat hamil Zahir, di usia kandungan 9 bulan, saya terkena diare yang ternyata adalah tanda-tanda tifus. Untungnya tidak terulang saat kehamilan Inaranti. 

Di usia kandungan 5 bulan (atau 6 ya? Agak lupa). Dokter bilang kalau calon anak saya adalah perempuan. Seperti yang diinginkan Om Taurus. Kalau saya? Jujur saya agak takut karena sebagai perempuan, saya jauh dari nilai ideal seorang perempuan yang dibangun oleh netizen. Saya tidak tertarik dengan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga. Seperti masak dan beres-beres rumah. Saya mungkin tipe orang yang akan dibenci (atau malah disukai) Marie Kondo karena hobi saya menimbun segala barang-barang bekas. Mulai dari bon belanjaan sampai kenangan mantan #eh. Selain itu, saya merasa sangat tidak lembut, tidak rapi, dan tidak mengerti keindahan. Sebagai anak pertama perempuan dengan adik-adik yang juga perempuan, Papa saya cukup keras mendidik saya. Mencekoki saya dengan prinsip-prinsip laki-laki, membenturkan saya dengan konflik-konflik orang dewasa yang harus dengan gagah saya hadapi. Mungkin itulah yang membuat saya cukup keras kepada diri sendiri, benci dikasihani, tidak suka terlihat lemah, cukup kompetitif kalau menyangkut persaingan dengan laki-laki, serta mudah tersulut jika ada komentar tentang ketidakmampuan perempuan. Nah, anak perempuan seperti apa yang akan saya besarkan? Hal-hal apa yang akan saya jadikan bekal hidupnya? Saya sepertinya tidak mungkin menjadi ibu yang mengajari anaknya memasak, merajut, beres-beres rumah, memasang selang kompor gas, mengganti galon, mengecat pagar, mengganti ban mobil, dll. Saya juga sepertinya tidak mungkin menjadi ibu yang mengomelinya karena bangun siang saat liburan. Jadi, yah...anak perempuan berarti saya akan belajar banyak. Seperti kata Mi Ran di Reply 1988, "I didn't raise the kids. I think they raised me." Mulai dari mana ini belajarnya? (T_T)

Memasuki usia kandungan 8 bulan, mulai deh saya dan Om Taurus berburu nama. Tapi nama Inaranti sendiri sudah saya pilih jauh-jauh hari sebelum saya hamil. Jadi ceritanya, saat membantu seorang teman memilihkan nama untuk anaknya, berjumpalah saya dengan nama Inaranti yang Indonesia banget. Saya segera memilih nama itu dan bilang ke teman saya kalau nama itu akan saya pakai saat nanti saya punya anak perempuan. Waaaw, saya sevisioner itu ternyata hahaha...Dan saya buktikan dengan gigihnya memperjuangkan nama itu menjadi nama depan. Persoalan selanjutnya adalah memilih nama tengah. Nama tengah adalah pertarungan terakhir karena nama belakang tentu saja Harnadi. Seperti nama belakang Om Taurus. Jadi, setelah bolak balik berganti nama tengah mulai dari Kirania, Naladhipa, Lamia, Lashira, Chantya sampai dengan agak lama menetap di Salwa, nama tengah Saira itu muncul dari Zahir. Saat itu Om Taurus masih keukeuh dengan nama Salwa dan saya keukeuh menolaknya. Tiba-tiba saja Zahir menyarankan nama Saira. Saya googling dan artinya juga bagus. Maka kami langsung setuju. Inaranti sendiri artinya adalah bunga matahari. Filosofinya adalah kesetiaan, kehangatan, dan keceriaan. Sementara Saira artinya adalah kebahagiaan. Jika nama adalah doa, maka kami akan mengaminkan itu. 

Menjelang Persalinan
Melihat keadaan bayi setiap bulan melalui USG, rasanya optimis akan bisa melahirkan normal. Walaupun di bulan-bulan akhir posisi bayi masih melintang, namun menjelang persalinan, semua sudah berjalan baik. Posisi kepala bayi, berat bayi, ketebalan rahim (karena saya punya riwayat SC), kondisi saya, semua dalam keadaan baik. Memang belum turun ke panggul tapi saya terus melakukan latihan menggunakan gym ball dan melakukan gerakan berdiri jongkok. Jalan pagi dan sore juga saya lakoni walaupun tidak rutin. Hal yang paling rutin saya lakukan untuk menghadapi persalinan normal adalah blog walking setiap malam membaca pengalaman-pengalaman melahirkan normal setelah SC.  Bagaimana pun melahirkan normal akan menjadi pengalaman baru bagi saya. 

14 Januari 2019
Kontrol kembali ke dokter Zul. Berat bayi saat itu sudah 2500gr. Jika ingin persalinan normal, mengingat riwayat SC sebelumnya, maka paling tidak sebelum 26 Januari 2019 bayi harus keluar karena lewat tanggal tersebut dikhawatirkan ketebalan rahim akan berkurang dan harus dilakukan SC tidak terencana yang memiliki resiko lebih besar dibandingkan SC terencana. Saya nurut saja, toh sebenarnya di kehamilan kali ini, walaupun bersiap untuk kelahiran normal, saya sudah mempersiapkan diri untuk segala kemungkinan. Jadi, apa pun prosedurnya, saya lebih rileks menjalaninya. 

24 Januari 2019
Saya dan suami mengurus administrasi persalinan di Puskesmas (surat pengantar untuk melahirkan di RS), jaga-jaga kalau harus SC sekaligus melakukan tes kesehatan. Hasilnya HB rendah. Siang sampai sore saya dicekoki Om Taurus dengan jus alpukat. Saya suka...saya suka...🤣 Belum ada tanda-tanda adik bayi akan keluar. Malamnya, saya kembali cek ke dokter Zul. Air ketuban sudah berkurang dan ada lilitan di leher bayi. Saya dan suami memutuskan untuk melakukan SC terencana yang dijadwalkan tanggal 26 Januari 2018 pagi. Memang bukan situasi yang memaksa untuk melakukan SC terencana, tapi apabila pernah mengalami SC tidak terencana yang mengakibatkan saya harus mengalami sakitnya konstraksi sampai bukaan 6 dan kemudian berakhir SC, keputusan seperti ini sepertinya akan lebih dimaklumi. Hehe...so don't judge me. Intinya, saya ingin mengalami persalinan dalam keadaan sangat siap. Tanpa ada trauma pasca persalinan seperti yang pernah saya alami sebelumnya. 

25 Januari 2019
Pagi sampai siang hari, saya dan suami disibukkan dengan mengurus administrasi persalinan di RS Anugerah Medika tempat saya akan melahirkan (urus BPJS lagi plus booking kamar), cek kesehatan lagi (urine, darah, usg) untuk persiapan operasi besok, juga mengurus permintaan darah ke PMI, untuk jaga-jaga kalau harus transfusi darah. Malamnya saya diminta datang ke RS untuk mulai menginap karena operasi dijadwalkan pukul 6 pagi.  Semua urusan selesai sebelum solat Jumat. Segala keperluan ibu dan bayi untungnya sudah saya masukkan di tas jauh-jauh hari jadi H-1 tidak terlalu disibukkan dengan hal tersebut. Malamnya, diantar oleh Mama, Papa, Adik, dan Zahir, saya dan suami berangkat ke RS Anugerah Medika. Perasaannya? Santai tapi sedikit cemas. Cemas karena ini berjalan dengan sangat santai. Bahkan sebelum masuk kamar, kami sekeluarga menyempatkan makan malam bersama  di Mie Lorong depan RS, wefie bersama, dan tidak ada yang membahas mengenai operasi besok. Keadaan yang terlalu tenang ternyata menimbulkan kecemasan tersendiri. Kewaspadaan tersendiri. Bahkan hasil foto wefie yang dikirimkan adik menampakkan wajah saya yang pucat dan tidak selo  (ー_ー)!!

Saya mendapat kamar yang saat menulis ini saya lupa nama kamarnya...huft. Fasilitas cukup lengkap (tv, kulkas, dispenser, air hangat untuk mandi, sofa) namun saat masuk, kamar seperti belum dibersihkan yang mengakibatkan Mama saya ngomel-ngomel karena dia harus turun tangan membersihkan kamar. Saya? Duduk di tempat tidur dan kepala saya mulai dijejali berbagai macam pikiran. Terlebih setelah semua orang pulang ke rumah, meninggalkan saya dan Om Taurus di kamar rumah sakit. Waktu saya habiskan dengan chat dengan Winda. Teman lama yang kembali kontak karena tergabung di grup Ria Miranda Lampung. Ayahnya salah satu pemilik saham RS Anugerah Medika. Kami berbincang hal-hal yang ringan tentang RS, karirnya sekarang, dan juga keluarga. Selesai chat, saya masih juga kesulitan tidur sementara Om Taurus sudah tidur dengan lelap. Sebelumnya perawat datang ke kamar untuk memberi gelang pasien berwarna pink yang harus dipakai selama perawatan sekaligus menginformasikan bahwa besok operasi akan dimulai pukul 6 pagi dan saya harus puasa mulai jam 12 malam ini. Besok, saya diminta sudah siap (sudah mandi, memakai atasan kemeja, dan bawahan kain tanpa aksesoris dan underwear) pada pukul 5 pagi karena sebelum operasi akan dilakukan pemasangan infus dan skintest untuk mengetahui reaksi tubuh terhadap obat-obatan tertentu. 

26 Januari 2019
The Day. Saya nyaris kesiangan karena kegiatan menghitung domba semalaman, gagal. Saya baru bisa tertidur jam 3 kurang. Setelah siap, saya duduk di tempat tidur, dan menunggu. Menunggu perawat datang, juga menunggu keluarga datang. Jam 5 lewat perawat masuk ke kamar. Membawa peralatan suntik dan infus. Infus dipasang kemudian skintest. Tidak perlu diceritakan sakitnya skintest, kan? Perhatian saya kemudian teralih ke tangan suster yang seperti membawa-bawa kateter. WOW. Tidak dipakai sekarang, kan? Tidak saat saya belum dibius, kan? Kecemasan ini saya sampaikan dan untunglah jawaban suster melegakan. "Nggak, Bu. Ini dipakainya nanti, di ruang operasi". Hamdallah. 

Masuk Ke Ruang Observasi
Ruang operasi tidak jauh dari kamar. Saya diantar oleh Mama. Sebelumnya saya diminta menunggu sebentar di ruang observasi. Berkenalan dengan dokter Wahyu. Dokter anastesi yang akan membantu persalinan saya. Dokter perempuan yang ramah dan kelihatan sangat cekatan. Ia sudah siap di ruang operasi lebih dulu dibanding perawat-perawat yang akan membantunya. Ia juga yang membolehkan Mama dan Om Taurus menemani saya di ruang observasi. Katanya biar saya tidak tegang karena ada teman mengobrol. Setelah ngobrol-ngobrol sebentar dengan Mama dan Om Taurus, dokter Wahyu meminta saya masuk ke ruang operasi karena operasi akan segera dimulai.

Di Ruang Operasi.
Ada beberapa perawat dan dr. Wahyu di sana. Saya dibantu untuk berganti pakaian. Seperti pengalaman sebelumnya, dinginnya ruang operasi membuat saya tremor. Dokter Wahyu bersiap untuk menyuntikkan anastesi di tulang belakang saya. Sebelumnya ia menghubungi dokter Zul sebagai penanggung jawab operasi kali ini untuk meminta izin menyuntikkan anastesi. Lima menit lagi, kata dokter Zul yang saat itu masih dalam perjalanan. Saya tidak ingat rasanya disuntik anastesi di tulang belakang karena pada saat proses kelahiran Zahir, rasa sakit kontraksi mendominasi. Tapi, dari banyak sumber yang saya baca, itu lumayan menyakitkan. Saya pun pasrah saat diminta perawat untuk duduk agak membungkuk karena dokter akan segera menyuntikkan anastesi. Rasanya? Tidak sakit. Serius. Dokter Wahyu melakukan tugasnya dengan sangat baik. Dia terus mensugesti saya dengan kalimat, "Rileks ya, Bu", "Tenang, Bu", "Ini sebentar saja", "Tidak akan sakit, kok". Dan dia benar.  Setelah itu dia meminta saya berbaring. Ia terus memandu saya dengan memberi tahu apa saja yang akan saya rasakan dan mengatakan bahwa itu hal yang biasa, normal, dan semua akan baik-baik saja. "Nanti kaki Ibu akan terasa kesemutan ya", "Kemudian akan terasa berat", "Ibu akan tetap tahu kalau saya elus seperti ini, tapi Ibu tidak akan merasakan sakit, ya", "Tenang ya, rileks" dan sepanjang operasi, dialah yang selalu aktif mengajak saya bicara seolah tahu bahwa itulah yang saya butuhkan untuk mengalihkan pikiran dari bayangan bahwa saat itu perut saya selapis demi selapis sedang dibuka.

Setelah anastesi, perawat memasang kateter. Tidak jadi masalah lagi karena saya sudah dalam keadaan mati rasa. Yeay. Hanya sedikit agak ngilu membayangkan kalau kateter itu akan dilepas nanti, saat efek anastesi sudah hilang. Tangan kanan saya tersambung dengan alat pengukur tekanan darah yang setiap 5 menit sekali sepertinya melakukan tugasnya. Alat pengukur tekanan darah ini juga cukup membantu saya karena setiap kali suasana di ruang operasi menjadi hening dan terlalu tenang, pikiran saya jadi kemana-mana dan kepanikan mulai muncul perlahan. Itu sepertinya akan membahayakan karena saya rasanya bisa tiba-tiba hilang kesadaran tapi alat pengukur tekanan darah membangunkan saya dengan tekanan yang kencang di lengan kanan saat ia melakukan pengukuran. Saya pun kembali santuy. Operasi berjalan lancar, Inaranti lahir pukul 06.10 dengan tangisan yang keras. Dokter Zul bahkan sempat bercanda dengan berkata, "Yen, masih bagus ini rahimnya, masih bisa kalau mau satu lagi" tepat setelah ia mengeluarkan Inaranti dari perut saya. Hahaha...Terima kasih tim dokter dan perawat RS Anugerah Medika atas persalinan kali ini. Tim RS ini juga sangat support pemberian ASI. Mungkin di postingan berikutnya, saya akan bercerita tentang perjuangan saya saat berusaha memberikan ASI untuk Inaranti. #wacanalagi

Jadi itulah cerita kelahiran Inaranti Saira Harnadi. Anak perempuan yang saat ini ditulis sudah berusia dua bulan. Sudah tembam dan pintar merajuk. Sehat selalu, Nduk. Selamat datang di keluarga ini. Papa, Mama, Mas Zahir akan selalu menyayangimu dengan cara kami sendiri-sendiri.




1 komentar:

  1. blogwalking tulisan ini dan seketika ya takjub, merinding, dan menerawang... sekalipun SC terencana rasanya juga ngunu kui ya tannn...
    Maka benarlah sabda orang-orang yang mengatakan jangan menambah anak kalau memang belum siap. soal persalinan jadi salah satu sebabnya...

    BalasHapus